Monday, March 20, 2023

Otoritas Keagamaan dalam Ranah Politik menjadi Faktor Penting pada Pemilihan Kepala Daerah

Jakarta, Humas LIPI. Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Septi Satriani, mengatakan dalam kancah politik di Indonesia, agama masih menjadi faktor penting untuk menentukan pilihan pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada Sumatera Utara tahun 2018 adalah contohnya. “Narasi agama dalam pilkada Sumatera Utara 2018 menjadi faktor penting pada saat pemilihan,” ungkap Septi yang disampaikan  dalam Forum Diskusi Budaya Seri 16 dengan mengambil topik “Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia” pada Senin (28/6) lalu. 

Menurut Septi, pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2018 digelar pasca-pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, suatu potret politik di level nasional yang memiliki kemiripan dengan politik di level lokal. Selain itu juga dipengaruhi adanya ketimpangan ekonomi antara muslim dengan non-muslim.

Dari studinya Septi menyebut ada beberapa strategi pemenangan yang merupakan temuan di lapangan. “Tim sukses melihat bahwa jamaah yang sering mengikuti pengajian adalah lumbung suara yang tidak bisa dibiarkan. Selain itu, cara yang paling efektif untuk menjaring suara mereka adalah melalui pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya,” tegas Septi. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran bahwa dibutuhkan seseorang yang memiliki kharisma yang kuat dan mampu dijadikan sebagai penarik suara. Oleh karena itu, pilihannya adalah berkolaborasi dengan Ustad yang digemari banyak jamaah, lanjutnya.

Selain itu juga ditemukan di lapangan narasi dari pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang menyatakan “adanya larangan untuk memilih pemimpin yang tidak seiman, dengan menyampaikan beberapa kumpulan dasar ayat dalam  Al Qur’an yang berisi memilih pemimpin yang tidak seiman memiliki dosa lebih banyak dibanding dengan dosa meminum khamar maupun babi,”jelas Septi.

“Hal ini juga diperkuat lagi dengan adanya perasaan terancam bahwa negara tidak memberi kebebasan dalam bersyiar, yang lebih ditakutkan lagi adanya kriminalisasi ulama,” ungkapnya. Sehingga dalam hal ini massa digiring dan dianjurkan untuk memilih pemimpin yang bertauhid hanya kepada Allah SWT. Selain itu, terkait perolehan suara pada pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun 2018, “pasangan nomor urut 1 ERAMAS yang identik dengan Islam menang di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya Islam. Sementara pasangan nomor urut 2, DJOSS yang identik dengan pelangi, menang di daerah-daerah yang penduduknya relatif beragam,” jelas Septi.

Di akhir paparannya, Septi menyimpulkan bahwa ada kemiripan antara Pilkada Sumut dan DKI Jakarta. Agama masih menjadi faktor penting dalam menentukan pilihan. Hal ini bisa dilihat dari adanya pesan yang dibangun untuk tidak memilih pemimpin yang non-muslim. “Adanya perasaan terancam jika memilih pimpinan yang non-muslim bahwa negara tidak akan memberikan kebebasan dalam bersyiar dan terlebih adanya kriminalisasi ulama,” tegas Septi menutup paparannya. (rdn/ ed: mtr)

Populer