Monday, March 20, 2023

Polri di Masa Pandemi COVID-19 : Kompleksitas Masalah Penegakan Hukum dan Pilihan Solusi

Upaya pencegahan dan pemutusan rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia membutuhkan kedisiplinan pada banyak aspek, terutama kehidupan sosial masyarakat. Dalam situasi pandemi,  diperlukan  disiplin yang sangat ketat terhadap kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk physical distancing. Metode ini dianggap sebagai upaya yang paling efektif untuk mencegah dan mengurangi angka penyebaran virus ini.

Pemerintah memperkuat kewajiban physical distancing melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020. Aturan ini harus dipatuhi dan untuk memastikan kepatuhan tersebut, Polri menjadi garda terdepan. Dalam konteks inilah, selain tenaga medis, Polri dapat disebut sebagai garda terdepan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Keberhasilan PSBB memang tergantung dari kesadaran dan kedisiplinan masyarakat, namun untuk memastikan keduanya berjalan, diperlukan peran Polri di dalamnya.

Disinilah letak persoalannya. Peran Polri yang demikian krusial dan signifikan untuk mencegah penyebaran COVID-19 tentu menjadi tugas “tambahan” yang tidak pernah diduga sebelumnya. Polri, pada satu sisi memiliki tugas-tugas rutin sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, sementara di sisi lain menjadi pihak yang diandalkan untuk menegakkan aturan PSBB. Pada saat yang sama, seluruh personel Polri di lapangan juga harus meningkatkan kewaspadaan bagi dirinya masing-masing karena kemungkinan tertular virus ini juga besar.

Artikel ini mengulas kompleksitas penegakan hukum pada masa pandemi ini. Kompleksitas ini dapat dilihat pada beberapa aspek, yaitu: penegakan hukum PSBB, kompleksitas masalah dalam penegakan hukum PSBB, dan pilihan solusi yang dapat dilakukan.

 

Penegakan Hukum Dalam PSBB

Fungsi penegakan hukum yang diemban Polri sesungguhnya tidak lepas dari fungsinya sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Pasal 2 dalam UU ini menyebutkan bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[1] Secara eksplisit, pernyataan ini kembali ditegaskan sebagai tugas dan wewenang Polri yang diatur pada Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri.

Berdasarkan regulasi di atas, maka istilah keamanan dalam konteks tugas dan fungsi Polri adalah “keamanan dan ketertiban masyarakat,” dimana istilah ini mengandung dua pengertian.[2] Pertama, sebagai suatu kondisi dinamis masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya pembangunan nasional sebagai tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman. Kedua, keamanan sebagai kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Di masa pandemi COVID-19, peran Polri lebih ditekankan pada pengertian kedua karena pada masa PSBB, Polri mengemban fungsi penegakan hukum yang ditegaskan kembali melalui Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Virus Corona. Maklumat tersebut merupakan inisiatif Polri dalam mendukung PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dan Permenkes No. 9 Tahun 2020.

Maklumat Kapolri ini menyatakan bahwa Polri mendukung penuh kebijakan pemerintah terkait penanganan COVID-19 dan memutus mata rantai wabah corona di Indonesia melalui penindakan kepada masyarakat yang masih berkumpul. Selain itu, Polri juga fokus pada penanganan kejahatan yang berpotensi terjadi saat penerapan PSBB, seperti street crime, perlawanan terhadap petugas, masalah ketersediaan bahan pokok, dan kejahatan siber.[3] Untuk mendukung aspek penindakan, Polri menggelar operasi kontinjensi Aman Nusa II 2020. Operasi ini diberlakukan sejak 19 Maret hingga 17 April 2020. Masa operasi bisa diperpanjang berdasarkan perkembangan situasi di lapangan.[4]

Satgas ini memiliki beberapa subsatgas. Pertama, Subsatgas Pidana Umum (Pidum) bertugas menindak kejahatan konvensional (pencurian, penjarahan, perampokan, tindak pidana bencana alam, serta tindak pidana karantina kesehatan). Kedua, Subsatgas Ekonomi bertugas mengawasi dan menindak penimbunan bahan makanan dan alat kesehatan, menindak pelaku ekspor antiseptik, bahan baku masker, alat pelindung diri (APD) dan masker, serta penindakan terhadap obat atau alat kesehatan yang tidak sesuai standar/izin edar.[5] Ketiga, Subsatgas Siber melakukan penindakan terhadap provokator dan penyebaran hoaks terkait penanganan COVID-19.

 

Kompleksitas Masalah dalam Penegakan Hukum PSBB

Jika melihat substansi maklumat maupun operasi yang dilakukan, fungsi Polri lebih banyak bergerak di area penindakan terhadap pelanggaran ketimbang pencegahan. Terlebih lagi, area penindakan tersebut ingin dicakup semuanya oleh Polri tanpa mempertimbangkan kesulitan teknis di lapangan. Padahal, Polri perlu menyadari bahwa dari sisi internal, masih terdapat keterbatasan (daya dukung) sumber daya Polri, seperti jumlah dan kemampuan personil yang bertugas, koordinasi dengan stakeholder yang masih lemah, dan sebagainya. Dalam banyak studi, keterbatasan-keterbatasan di atas belum sepenuhnya dapat diselesaikan oleh pemerintah sendiri.

 Padahal, sebagaimana tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002, fungsi Polri tidak hanya  penindakan, melainkan juga pencegahan melalui upaya persuasif yang dapat melibatkan masyarakat. Tampaknya hal ini tidak menjadi prioritas bagi Polri mengingat dalam maklumat tersebut, Polri ingin mengerahkan semua potensi kekuatan untuk mendukung pelaksanaan PSBB.

Namun hal utama yang tidak bisa diabaikan adalah pandemi telah menciptakan masalah keamanan yang sangat kompleks. Hal ini patut dicermati oleh Polri. Kompleksitas ini setidaknya terlihat dari; Pertama, fluktuasi tingkat kejahatan sepanjang masa pandemi dan PSBB yang mengalami kenaikan maupun penurunan. Pada bulan Februari terdapat 17.411 kasus, bulan Maret naik menjadi  20.845 kasus,[6] lalu April menurun kembali menjadi 15.322 kasus.[7] Walaupun secara kuantitas menurun, terdapat potensi kejahatan di beberapa sektor yang patut diwaspadai selama PSBB, seperti kejahatan jalanan (penjambretan, perampokan, dan pencurian kendaraan bermotor)

Kedua, perubahan pola kriminalitas di masa pandemi. Studi Roberts menemukan bahwa terjadi bentuk-bentuk baru kriminalitas yang berevolusi sebagai pemanfaatan situasi selama masa pandemi COVID-19.[8] Hal ini terkonfirmasi dari pandangan Polri bahwa kriminalitas yang terjadi sepanjang PSBB salah satunya juga disebabkan oleh masyarakat yang terdampak secara ekonomi di tengah pandemi. Para pelaku kriminal memanfaatkan situasi pembatasan sosial yang membuat lingkungan sepi untuk melakukan aksinya.

Selain itu, Polri perlu memperhitungkan pola kriminalitas lainnya yang tidak hanya terjadi sepanjang PSBB, melainkan selama masa pandemi. Misalnya, kasus pencurian dan penimbunan alat medis, penjualan obat-obatan palsu melalui kejahatan terorganisir, pencurian pada tempat sektor bisnis yang kosong, pelanggaran ketertiban umum karena perselisihan masalah medis, hingga kesalahpahaman masyarakat mengenai penanganan COVID-19.

Sampai saat ini, kesalahpahaman  masih saja berlangsung di tengah semakin meningkatnya kasus positif COVID-19. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap tenaga medis maupun individu-individu non-tenaga medis hingga penolakan terhadap jenazah yang dianggap terinfeksi. Polri memang telah menunjukkan upaya penindakan melalui penegakan hukumnya, tetapi masih belum sebanding dengan masifnya diskriminasi tersebut.

Kompleksitas ini perlu dicermati oleh Polri dalam menentukan prioritas tindakan penegakan hukum. Dalam studi Stone, [9] ada  lima kategori utama yang dapat menjadi pilihan prioritas pada masa pandemi: (1) menegakkan penerapan karantina secara tegas; (2) melindungi tenaga medis; (3) menindak penimbunan peralatan medis dan penjualan obat palsu; (4) mengawasi potensi hoaks yang dapat memicu konflik sosial; dan (5) menangkap pelaku kriminal yang melakukan kejahatan jalanan. Dari lima kategori ini, posisi kepolisian sangat penting dalam menyusun strategi untuk menghadapinya dan dalam menetapkan prioritas masalah yang akan ditangani.

 

Pilihan Solusi

Apakah Polri memiliki daya dukung dan kemampuan optimal untuk menjalankan seluruh kategori di atas? Studi Stone dan Robert memotret fenomena ini di beberapa negara (Tiongkok, AS, dan Inggris) ternyata hasilnya sangat sulit. Apalagi angka rasio polisi di Indonesia dengan jumlah masyarakatnya masih belum ideal. Selain itu, yang paling utama adalah daya dukung personel kepolisian yang berkurang akibat virus ini. Banyak personil kepolisian yang terpapar virus ini sehingga berdampak pada pelaksanaan teknis di lapangan. Polri sendiri telah menyatakan ada beberapa anggotanya yang terpapar, walaupun belum ada rilis resmi jumlah totalnya.

Karena itu, berdasarkan studi Stone dan Robert, pilihan yang dapat dilakukan adalah komunikasi terbuka antara kepolisian dengan pemangku kepentingan.[10] Bentuk komunikasi ini adalah membangun dialog dua arah dengan para pemangku kepentingan (pemerintah dan DPR). Polri perlu mengemukakan secara realistis tentang apa yang mereka lakukan, mengapa, dan keterbatasan serta ketidakpastian situasi keamanan yang akan dihadapi, ketimbang mengklaim seluruh masalah keamanan masyarakat dapat ditangani demi melindungi reputasi.

Polri juga harus siap menegosiasikan peran mereka dan memprioritaskan fungsi penegakan hukum pada kategori tertentu. Fungsi apa yang dapat dikurangi atau dibatasi dan sejauh mana kapasitas dan kemampuan yang dimiliki untuk menanggapi permintaan dukungan mereka dari lembaga lain dan masyarakat. Melalui komunikasi ini, maka dapat ditentukan prioritas keamanan yang akan ditangani oleh Polri dengan berbagai pertimbangan.

Pilihan lainnya adalah pencegahan berbasis komunitas. Penerapan PSBB di Kabupaten Bogor dapat menjadi contoh. Pencegahan penyebaran virus ini tidak hanya bergantung pada mekanisme pembatasan di area publik (jalan raya), tetapi dimulai dari basis komunitas paling kecil (RT/RW, desa, dan kecamatan). Polri dapat berkolaborasi bersama komunitas masyarakat dengan mengandalkan Polsek sebagai basis deteksi dini akan potensi terjadinya masalah keamanan dalam masyarakat. Peran Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) bisa dioptimalkan untuk mengedukasi masyarakat sebagai pencegahan timbulnya hoaks atau stigma mengenai virus ini. (Sarah Nuraini Siregar, M.Si)


[1] Lihat UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

[2] Hermawan Sulistyo, et.al., Keamanan Negara, Keamanan Nasional, dan Civil Society: Policy Paper, Jakarta: Pensil-324, 2009, hlm. 79.

[3] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200406131810-8-150024/simak-ini-maklumat-polri-untuk-penegakan-hukum-psbb, 6 April 2020. Diakses tanggal 5 Mei 2020.

[4] https://www.beritasatu.com/nasional/619091-polri-tegaskan-seluruh-polda-bantu-pemda-terapkan-psbb, 10 April 2020. Diakses 6 Mei 2020.

[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200417151539-12-494586/polri-bakal-jerat-pelanggar-kebijakan-pemerintah-soal-corona, 17 April 2020. Diakses 6 Mei 2020.

[6]https://katadata.co.id/berita/2020/04/22/kriminalitas-meningkat-selama-pandemi-corona-sebanyak-apa, 22 April 2020. Diakses 6 Mei 2020.

[7] https://nasional.okezone.com/read/2020/05/04/337/2209082/polri-angka-kejahatan-jalanan-meningkat-saat-pandemi-COVID-19, 4 Mei 2020. Diakses tanggal 5 Mei 2020.

[8] Karl Roberts, “Policing the Pandemic: Managing The Police Response To COVID-19 Coronavirus,” in https://www.blueline.ca/policing-the-pandemic-managing-the-police-response-to-COVID-19-coronavirus/ , 25 Maret 2020.

[9] Cristopher Stone, “Policing A Pandemic: How Police Were and Were Not Prepared For COVID-19,” in https://www.worldpoliticsreview.com/articles/, 5 Mei 2020. Diakses 5 Mei 2020.

[10] Ibid.

Populer