Masih segar dalam ingatan kita perlawanan kelompok masyarakat sipil yang menentang pengesahan RUU Cipta Kerja atau juga dikenal sebagai Omnibus Law. Rancangan UU yang awalnya diberi nama Cipta Lapangan Kerja bahkan dipelesetkan oleh para penentangnya sebagai RUU “Cilaka” karena dianggap membawa celaka bagi ekosistem ekonomi politik di Indonesia terutama di bidang ketenagakerjaan, tata kelola sumber daya alam (SDA), dan lingkungan hidup.
Perlawanan yang muncul begitu meluas, bahkan demonstrasi tetap berjalan meski di tengah pandemi. Namun resistensi dari kelompok masyarakat ini tidak menyurutkan langkah anggota parlemen untuk mengesahkan RUU ini dalam rapat paripurna pada 5 Oktober 2020. Presiden Joko Widodo pun segera menandatanganinya pada 2 November 2020, sehingga RUU itu kemudian disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Proses penyusunan yang kurang dari setahun membuat undang-undang ini sebagai salah satu peraturan yang paling cepat dihasilkan oleh negara di era reformasi. Minimnya proses dialog terbuka dengan publik membuat berbagai pihak menyebut UU Cipta Kerja sebagai hasil dari proses ‘legislasi tanpa ruang demokrasi’ (PSHK, 2020).
Pengesahan ini membuat kelompok masyarakat sipil tidak tinggal diam. Pada 6 November 2020, permohonan pengujian kembali (judicial review) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu menghasilkan titik terang. Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’. Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap Omnibus Law diberikan MK karena UU ini dianggap cacat secara formal dan cacat prosedur. Terdapat sembilan poin dalam amar putusan tersebut. Namun salah satu yang digarisbawahi adalah bahwa MK menyatakan Omnibus Law ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.” Artinya, dalam kurun waktu dua tahun, UU ini harus diperbaiki. Apabila tidak, maka akan dinyatakan inkonstitusional permanen. Putusan ini dianggap sebagai sebuah kemenangan bagi masyarakat sipil. Namun, artikel ini berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak akan berdampak banyak pada tata kelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia.
Omnibus Law dan Tata Kelola SDA
Sebelum membahas dampak putusan inkonstitusional bersyarat Omnibus Law, ada baiknya kita melihat bagaimana peraturan ini memengaruhi tata kelola SDA di Indonesia. Undang-undang ini mendapat banyak tentangan terutama dari para pegiat lingkungan dan SDA karena memuat pasal-pasal yang sangat pro-investasi dan sebaliknya, kontraproduktif dalam mendorong demokratisasi tata kelola SDA.
Isu yang paling banyak diangkat adalah mengenai menyempitnya ruang keterlibatan masyarakat dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) dan pemberian izin lingkungan. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dijelaskan bahwa yang dapat berpartisipasi dalam penyusunan AMDAL adalah 1) masyarakat yang terkena dampak; (2) pemerhati lingkungan hidup; (3) dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk putusan dalam proses AMDAL. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, penyusunan AMDAL hanya boleh dilakukan oleh masyarakat yang terdampak langsung saja. Padahal dalam tata kelola SDA yang demokratis, dibutuhkan kontrol masyarakat dalam menentukan sifat, kecepatan, tingkat dan arah akses, serta kontrol untuk pemanfaatan SDA (Borras & Franco, 2008). Pelibatan masyarakat yang optimal juga akan mengurangi konflik baik horizontal maupun vertikal. Alasan mengapa limitasi partisipasi masyarakat ini terjadi, tidak tercantum dalam naskah akademik UU Cipta Kerja. Kuat dugaan bahwa pembatasan partisipasi masyarakat ini hanya untuk mempermudah perizinan usaha saja (ICEL, 2020). Tim Kajian Masyarakat Sipil Pusat Riset Politik BRIN dalam kajiannya berkesimpulan bahwa Omnibus Law merupakan manifestasi konkret mundurnya demokrasi, khususnya dalam tata kelola SDA (Suryani, Izzati, Syafi’i, Adaba, & Satriani, 2021). Tidak hanya terkait dengan penyusunan UU yang meminggirkan aspirasi masyarakat, tetapi juga karena substansi peraturan yang membatasi partisipasi masyarakat dalam tata kelola SDA.
Inkonstitusional Bersyarat: Celah tetap Berlangsungnya Eksploitasi SDA di bawah UU Cipta Kerja
Menanggapi UU Cipta Kerja yang menekan partisipasi masyarakat sipil, sebagian aktivis masyarakat sipil menganggap bahwa putusan inkonstitusional bersyarat pada undang-undang itu jelas adalah sebuah kemenangan bagi masyarakat. Apalagi memang salah satu poin yang menjadikan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat adalah tidak adanya asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang bermakna sesuai dengan konstitusi Pasal 22A UUD 1945 (Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 hlm. 414). Di lain pihak, ada pula kelompok yang melihat putusan ini secara lebih kritis karena sesungguhnya putusan ‘inkonstitusional bersyarat’ tidak menunda berlakunya UU Cipta Kerja secara keseluruhan.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa “…menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” (Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 hlm. 417). Putusan ini cukup ambigu, khususnya bagi tata kelola SDA yang berkaitan dengan usaha ekstraktif, karena tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘strategis’ dan ‘berdampak luas’. Putusan ini seakan tidak bersifat mengunci dan menyerahkan kepada penyelenggara negara mengenai tafsirnya. Bagi para pegiat isu Hukum Tata Negara, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baru (KoDe Inisiatif, 2021).
Putusan yang ambigu ini, di satu pihak, memberikan celah untuk tetap berlangsungnya eksploitasi SDA di bawah UU Cipta Kerja. Pasca-putusan MK tersebut, misalnya, warga Desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah, masih terus menyuarakan perlawanannya terhadap proyek tambang untuk pembangunan bendungan yang tidak melibatkan warga Wadas dalam penyusunan AMDAL sebagai warga terdampak (Purworejo24, 23 Desember 2021). Di Wadas telah berlangsung pembangunan proyek tambang andesit yang menjadi kuari (quarry) untuk proyek Bendungan Bener yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam prosesnya, beberapa kali terjadi kekerasan terhadap warga yang dilakukan oleh aparat kepolisian (Kabar Kota, 4 November 2021). Artinya, kehadiran putusan MK terhadap Omnibus Law yang mengatur soal PSN tidak serta-merta menghentikan atau menunda proyek yang berlangsung. Menjadi pertanyaan apakah karena proyek yang berlangsung di Desa Wadas ini tidak dianggap strategis dan berdampak luas? Adapun warga yang menolak sebanyak 307 dari sekitar 450 kepala keluarga. Penolakan warga terhadap proyek ini sendiri muncul karena pertambangan batu akan merusak alam, mencemari air kebutuhan hidup, dan menghilangkan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah petani (Adriansa, Adhim, & Silviana, 2020). Ketidakjelasan ini akan terus mewarnai kasus serupa lainnya.
Di lain pihak, pasca-putusan MK, pemerintah terus berupaya mengamankan investasi sebagai roh utama dari UU Cipta Kerja. Dalam pengarahan kepada Kepala Kesatuan Wilayah tahun 2021 di Bali (3/12/2021), Presiden Joko Widodo memerintahkan kepolisian untuk mengawal investasi sebagai penggerak ekonomi. Apabila ada jajaran kepolisian di daerah tidak dapat menjaga, maka harus diganti (iNews, 3 Desember 2021). Investasi tentu bukanlah hal yang haram. Akan tetapi, bila ada tekanan sedemikian rupa terhadap aparat negara dalam mengamankan investasi dari presiden, sangat besar kemungkinan proyek yang seharusnya ditunda sebagai amanat putusan MK terhadap UU Cipta Kerja akan terus berjalan. Tentu ini didukung pula oleh ketidakjelasan indikator ‘strategis’ dan ‘berdampak luas.’ Efek lainnya adalah akan meningkatnya kekerasan terhadap warga dan aktivis yang menentang proyek. Perlu diingat bahwa eksploitasi SDA seringkali diiringi dengan kasus kekerasan, khususnya oleh aktor negara (polisi, TNI, Satpol PP, dan pejabat negara), terhadap warga maupun aktivis lingkungan. Kajian ELSAM bahkan memperlihatkan kecenderungan kekerasan yang dilakukan oleh aktor negara meningkat secara signifikan di masa Presiden Joko Widodo, dibandingkan dengan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) (ELSAM, 2020).
Berdasarkan penjelasan di atas, penting kiranya bagi masyarakat sipil untuk terus mengawal pelaksanaan putusan MK terhadap Omnibus Law. Sungguh berbahaya apabila menyerahkan sepenuhnya tafsir kepada pemerintah dan DPR, khususnya terhadap pemaknaan ‘strategis’ dan ‘berdampak luas’ tersebut. Tafsir yang tentu saja akan dibuat berdasarkan kehendak dan moralitas mereka yang seringkali menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat (Dini Suryani/ dini012@brin.go.id).
Referensi
Adriansa, M. Z., Adhim, N., & Silviana, A. (2020). Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas Kabupaten Purworejo (Tahap I): Studi Kasus Hambatan dalam Pengadaan Tanah di Desa Wadas. Diponegoro Law Journal, 9(1), 138-154.
Borras, S. M., & Franco, J. C. (2008). Democratic Land Governance and Some Policy Recommendations. Oslo: United Nations Development Program.
ELSAM. (2020). Menatap Tahun-tahun Penuh Marabahaya: Laporan Situasi Pembela HAM atas Lingkungan tahun 2019. jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
ICEL. (2020). Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
iNews. (2021, Desember 3). Jokowi Minta Polri Kawal Investasi: Jika Kapolda Tak Bisa Mengawal, Ganti! Retrieved from iNews.id: https://www.inews.id/finance/bisnis/jokowi-minta-polri-kawal-investasi-jika-kapolda-tak-bisa-mengawal-ganti
Kabar Kota. (2021, November 4). 16 Kali Didatangi Polisi Bersenjata, Warga Wadas: Kami seperti Teroris. Retrieved from Kabarkotacom: https://www.kabarkota.com/16-kali-didatangi-polisi-bersenjata-warga-wadas-kami-seperti-teroris/
KoDe Inisiatif. (2021). Ambiguitas dan Ketidakpastian Hukum dalam Amar Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja . Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif.
PSHK. (2020, Oktober 6). Pengesahan UU Cipta Kerja : Legislasi Tanpa Ruang Demokrasi. Retrieved from Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: https://pshk.or.id/publikasi/pengesahan-uu-cipta-kerja-legislasi-tanpa-ruang-demokrasi/
Purworejo24. (2021, Desember 23). Gelar Spanduk “Purworejo Tidak Baik-baik Saja”, Rakyat Bergerak Purworejo Suarakan Isu Wadas dan Bendungan Bener. Retrieved from Purworejo24: https://www.purworejo24.com/2021/12/gelar-spanduk-purworejo-tidak-baik-baik-saja-rakyat-bergerak-purworejo-suarakan-isu-wadas-dan-bendungan-bener/
Suryani, D., Izzati, F. F., Syafi’i, I., Adaba, P. Y., & Satriani, S. (2021). Kemunduran Demokrasi dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam. Jurnal Penelitian Politik, 18(2), (segera terbit).