Impor garam yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebanyak 75 ribu ton, akhirnya telah tiba di Pelabuhan Ciwandan Banten pada 10 Agustus 2017 sebesar 25 ribu ton. Selang satu hari, garam impor sebesar 27,5 ribu ton tiba kembali di Tanjung Perak Surabaya. Rencananya, 22.500 ton garam impor juga akan segera tiba di Pelabuhan Belawan Medan di akhir agustus.
Kebijakan impor garam ini kemudian mendapatkan respon negatif dari beragam kalangan masyarakat. Mereka menilai pemerintah tidak seharusnya melakukan impor garam mengingat sebagai negara maritim, Indonesia memiliki laut dan garis pantai yang lebih dari cukup untuk menjadi produsen garam dunia.Kebijakan impor garam dinilai sebagai kurang optimalnya upaya pemerintah, jika tidak dikatakan gagal, mewujudukan visi poros maritim dunia. Terlebih impor garam dilakukan di bulan Agustus bersamaan dengan bulan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia .
Produksi garam nasional
Sejak lama persoalan mendasar tata kelola garam, dan juga komoditas lainnya, adalah ketiadaan data yang pasti mengenai jumlah produksi dan kebutuhan konsumsi. Ekonom Faisal Basri, menyebutkan data produksi garam dan kebutuhan konsumsi setiap tahun seperti Roller-Coaster, kacau, dan tidak valid. Hal ini yang kemudian menyulitkan pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat. Alih-alih bergerak menuju negara yang swasembada garam, pemerintah justru terjebak pada kebijakan impor dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data yang telah dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam konsumsi sebenarnya mengalami tren kenaikan sejak diluncurkannya kebijakan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat atau yang lebih dikenal dengan istilah PUGAR. Dari tahun 2011 hingga tahun 2015 pertumbuhan produksi garam nasional rata-rata mencapai 32,74 persen. Pada tahun 2011, produksi garam nasional mencapai 1,6 juta ton, meningkat di tahun 2012 menjadi 2,47 ton. Meskipun di tahun 2013, produksi garam nasional hanya 1,2 juta ton karena curah hujan tinggi, produksi garam nasional kembali mengalami kenaikan di tahun 2014 dan 2015 berturut-turut mencapai 2,5 juta ton dan 2,9 juta ton. Meskipun demikian, keseluruhan produksi garam nasional ini masih tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi garam nasional yang mencapai 4 juta ton setiap tahunnya sehingga impor garam dianggap jalan yang praktis untuk memenuhi kebutuhan garam nasional terutama untuk garam industri.
Tren peningkatan produksi garam nasional ini awalnya membuat pemerintah lebih percaya diri untuk menuju swasembada garam. Ekspektasi menjadi negara ekspor kemudian dicanangkan pada tahun 2015 atau paling lambat di tahun 2019. Namun ekspektasi ini kemudian pupus manakala produksi garam nasional di tahun 2016 hanya mencapai 150 ribu ton akibat kemarau basah sehingga pemerintah kembali impor garam mencapai 3 juta ton.. Di tahun 2017 ini, kemarau basah kembali dianggap sebagai penyebab kegagalan produksi garam di berbagai sentra pembuatan garam di Indonesia. Alhasil, KKP yang sebelumnya menargetkan produksi garam konsumsi nasional sebesar 4,5 juta ton justru merekomendasikan impor garam melalui PT. Garam sebanyak 75 ribu ton dari Australia.
Senyatanya, tren kenaikan impor garam terus berlangsung setiap tahun baik untuk garam konsumsi maupun garam industri. Untuk garam konsumsi, realisasi impor tahun 2009 sebesar 99.754 ton, dan menjadi 597.583 ton di tahun 2010 dan 923.756 ton pada tahun 2011. Sementara realisasi impor garam industri tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 1,63 juta ton dan 1,59 juta ton serta 1,69 juta ton di tahun 2011. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS, di tahun 2016, impor garam tumbuh sebesar 15 persen menjadi 2,14 juta ton dari tahun sebelumnya 2015 yang hanya 1,86 juta ton. Sementara, nilai impor tumbuh 7,8 persen dari sebelumnya yang hanya US$ 79,83 juta menjadi US$ 86 juta.
Tersandera Kartel Garam
Terus berlangsungnya tren impor garam meskipun telah dicanangkan visi Poros Maritim Dunia oleh Presiden Joko Widodo merepresentasikan ketidakmampuan pemerintah mengelola tata niaga garam nasional yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap petani garam dari para kartel garam. Sudah seharusnya pemerintah memprioritaskan perlindungan terhadap petani garam mengingat produksi nasional sebagian besar dihasilkan oleh tambak garam rakyat. Pada tahun 2015 misalkan, produksi garam dari petani garam rakyat sebesar 2,9 juta ton dari lahan tambak 25,8 ribu Ha yang dikerjakan lebih kurang 21.050 petani yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (KKP, 2015).
Penetrasi dan permainan para kartel dalam industri garam, tidak hanya sengaja mengondisikan kelangkaan sehingga mereka leluasa mengatur pasokan dan harga garam di pasaran. Lebih dari itu, kartel garam yang oleh Rizal Ramli disebut sebagai “begal garam” sesungguhnya menjadi penyebab keterpurukan dan marjinalisasi sosial-ekonomi petani garam di Indonesia. Hal ini terlihat jelas tren impor garam selalu dilakukan memasuki masa panen yang rata-rata mencapai 2-3 juta ton setiap tahun sehingga harga garam lokal di tingkat petani jatuh ke posisi paling rendah.
Situasi ini memosisikan kelompok petani garam semakin frustasi dan terus menerus berada pada ekonomi subsisten yang berdampak pada semakin menyusutnya jumlah petani garam. Tidak heran kemudian jumlah petani garam semakin menyusut dari tahun ke tahun. Data KKP menyebutkan tahun 2012, jumlah petani garam sebanyak 30.668 orang dengan luas lahan yang diolah sebesar 22.632 Ha, tahun 2015 petani garam menurun menjadi 21.050 orang dengan luas lahan yang diolah 25.830 Ha. Di lain pihak, kelompok kartel garam adalah pihak yang selalu diuntungkan dari praktik impor garam dan terus berupaya mempertahankan status quo yang oleh Yety (2013) disebut sebagai “jeratan kapitalisme”. Sementara, keberadaan PT. Garam yang ditunjuk menjadi regulator belum mampu bekerja optimal menjadi mitra petani garam, sebaliknya keberadaannya justru cenderung menyaingi para petani garam melalui kebijakan impornya. Tak heran kemudian, pada bulan Juni 2017, Dirut dari perusahaan plat merah ini terjerat dalam penyalahgunaan izin importasi garam.
Membangun Industri Garam berbasis Komunitas
Sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya mampu menjadi negara yang memproduksi garam tanpa harus melakukan impor. Namun demikian, pengelolaan industri garam yang amburadul membuat kita selalu terjebak pada kesalahan yang berulang setiap tahun dengan menjadi negara importir garam.
Pembuatan garam di Indonesia sejatinya telah berlangsung sejak lama. Bukti tertua pembuatan garam terdapat dalam prasasti Biluluk I yang ditemukan di Lamongan pada masa Majapahit tahun 1350 (Yamin, 1965). Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa masyarakat Biluluk dan Tenggulunan mengolah air laut menjadi garam di bawah pengawasan kerajaan. Pada masa-masa setelahnya, pembuatan garam kemudian berkembang di pesisir pantai di Jawa Timur di tepian Selat Madura dan Pantai Utara Jawa. Pada era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sistem pajak tidak langsung kemudian merangsang perluasaan ladang-ladang garam di Jawa Timur. Sementara pada masa Hindia Belanda, monopoli garam memosisikan Madura sebagai pusat pembuatan garam kolonial.
Dari pengalaman panjang pembuatan garam, pembuatan garam di Indonesia diusahakan melalui prinsip social enterprise. Oleh karenanya pengembangan industri garam nasional harus berdasarkan prinsip dalam upaya memperkuat posisi para petani garam. Di Madura misalnya, sejak lama pembuatan dan pengiriman garam melalui perahu-perahu tradisional mereka ke berbagai wilayah di Indonesia telah membentuk sebuah ekologi pesisir yang berbeda sama sekali dengan ekologi agraris. Mereka yang terlibat dalam pembuatan dan pengiriman garam di Madura kemudian membentuk jaringan ekonomi maritim berdasarkan ikatan kekerabatan dan desa yang berlangsung bahkan sejak era kolonial meskipun sejak tahun 2000an, aktivitas ini mengalami penurunan signifikan (Imam Syafi’i, 2013). Pembentukan ekologi pesisir dan ekonomi maritim dalam pembuatan garam dapat menjadi catatan khusus pemerintah sehingga pembuatan kebijakan tidak lagi bias dan terjebak pada dikotomi pemahaman antara ekologi pesisir dan ekologi agraris.
Akhirnya, pengembangan industri garam berdasarkan prinsip social enterprise dapat dijalankan dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, pemerintah wajib membangun zonasi geografis dengan cara pengembangan zona lama maupun membangun zona baru pembuatan garam. Dalam konteks pembangunan zona geografis, membangun sistem data yang valid, teknologi dan perbaikan infrastruktur mutlak dilakukan melalui one map policy. Tentunya kita tidak ingin terjebak pada perdebatan yang mengarah pada mitos yang menyesatkan, “kita memiliki wilayah laut dan garis pantai yang panjang, sudah sewajarnya kita mampu menjadi produsen garam dunia” karena tidak semua laut dan pantai kita cocok untuk dijadikan sentra produksi garam. Kedua, perbaikan tata niaga garam melalui harmonisasi regulasi ditujukan untuk mengurangi ego sektoral dan tumpang tindih kewenangan antara kementerian dan lembaga di bawah payung hukum yang jelas. Dalam hal ini, perlindungan petani garam melalui akses asuransi, perbankan, stabilisasi harga garam, dan persaingan usaha yang sehat.
Ketiga, industri garam nasional merupakan usaha padat karya yang masih memiliki mekanisme yang bersumber dari nilai-nilai tradisional (local wisdom) yang berkembang. Oleh karenanya, transformasi petani garam bersamaan dengan penggunaan teknologi dan pembangunan infrastruktur harus sejalan dengan perubahan orientasi budaya dan kemampuan manajemen usaha yang adaptif terutama menghadapi perubahan iklim mengingat industri garam kita masih bersifat subsisten serta semakin ketatnya kontestasi global. Jika tahapan ini dapat dilakukan, bukan tidak mungkin pengembangan industri garam nasional berbasis komunitas dapat menjadi alternatif pengembangan ekonomi pesisir menuju swasembada garam nasional. (Imam Syafi’i – Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI)