Monday, March 20, 2023

Kasus Dwi Hartanto : Antara Rejim Positivistik dan Mentalitas Inferior

Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan pemberitaan kebohongan Dwi Hartanto yang tersebar luas di media online. Pertanyaan kemudian muncul di benak saya, mengapa dia berbohong? Bagi saya pertanyaan ini penting untuk mengetahui duduk persoalannya dan bagaimana konteks kebohongan yang dilakukannya sehingga bisa menyebar dan terbongkar.

 

Di tengah kemudahan akses internet, proses pencarian digital untuk mengetahui latarbelakang seseorang sebenarnya menjadi jauh lebih mudah. Cukup dengan mengetik nama seseorang dengan Google, kita akan menemukan rangkaian informasi awal untuk mengetahui latarbelakang seseorang, baik itu alamat surat elektroniknya, akun sosial media yang dimiliki, kampus almamater, maupun kemungkinan karya-karya yang dihasilkan. Proses pencarian Google inilah yang saat ini dijadikan sandaran informasi untuk landasan informasi awal saat melakukan proses wawancara, baik untuk mengetes pelamar kerja maupun pencari beasiswa. Hal ini pula yang disadari atau tidak secara sepenuhnya oleh Dwi Hartanto.

 

Terdapat sejumlah faktor yang saling terkait mengapa kebohongan itu muncul dan diterima oleh publik sebagai bentuk kekaguman, meskipun akhirnya berujung kepada penolakan. Biasanya yang muncul dalam benak kita saat mendengarkan orang Indonesia yang memiliki reputasi di luar negeri dan memberikan sumbangsih besar terhadap ilmu pengetahuan dan memberikan nama harum untuk Indonesia adalah mereka yang studi di bidang Ilmu Alam. Di luar itu, tampaknya belum mendapatkan tempat terhormat untuk menjadi perbincangan publik. Di antara orang Indonesia yang berhasil dan diingat publik dalam rumpun ilmu ini adalah B.J. Habibie. Kebesaran namanya tidak hanya menjadi perbincangan dan inspirasi bagi generasi muda Indonesia, tetapi juga menjadi semacam “standar keberhasilan” di luar negeri, di samping tetap mempertahankan identitas dan kewarganegaraannya sebagai bangsa Indonesia. Keberhasilan B.J. Habibie di dunia internasional seolah-olah menggambarkan bahwa hanya disiplin Ilmu Pengetahuan Alam yang kemungkinan besar memberikan kontribusi penting untuk kebaikan dan solusi untuk masalah-masalah manusia.

 

Akibatnya muncul stigma, ketika orang Indonesia sukses dalam bidang ilmu lainnya, publik melihatnya itu bukan semacam suatu keberhasilan. Sebagai contoh, saat kita mengukurnya dengan menuliskan kata kunci Ilmuwan Sosial Indonesia di Google, hasil yang muncul adalah mereka yang bergelut di bidang Ilmu Alam. Padahal banyak ilmuwan dan akademisi di kampus bergengsi luar negeri yang sukses menggeluti bidang ilmu sosial dan humaniora. Namun, kiprah mereka tidak pernah mendapatkan sorotan di dalam negeri, sebagai contoh Merlyna Liem, Ariel Heryanto, Vedi R Hadiz, Priyambudi Sulistiyanto, Nadirsyah Hosein, dan lain sebagainya. Dengan sensitivitas pengetahuan tentang Indonesia yang kuat, mereka tidak hanya membawa nama baik Indonesia di kancah internasional, melainkan juga memberikan cara pandang yang lebih baik dan luas atas konteks yang dialami bangsa Indonesia dalam mengedepankan isu sebagai bentuk solusi.

 

Pada titik ini, kebohongan Dwi Hartanto menyambungkan harapan besar publik Indonesia atas keberhasilan BJ Habibie dalam memposisikan diri sebagai figur yang gemilang dan mumpuni di bidangnya. Apalagi dia sendiri pernah bertemu langsung dengannya dalam sebuah acara di Belanda, meskipun hanya 10 menit. Tetapi, foto yang diabadikan tersebut, menjadi dasar yang kuat untuk mengokohkan dirinya sebagai “penerus Habibie”.

 

Meskipun demikian, dari tindakan kebohongan yang dilakukannya ini perlu dilakukan riset lebih mendalam melalui penelusuran riwayat hidup keluarganya, di samping melakukan wawancara dan riset dengan pendekatan psikologi klinis. Jika kebohongan itu terus dilakukan, dia bisa saja dianggap mengidap semacam gangguan psikologis yang disebut mythomania. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikiater bernama Ferdinand Dupre pada tahun 1905. Menurutnya, mythomania merupakan kebohongan yang dilakukan seseorang bukan untuk tujuan menipu orang lain, melainkan untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya merupakan sebuah kenyataan (Kumparan.com, 8 Oktober, 2017). Gangguan psikologis semacam ini biasanya berdampak bagi mereka yang memiliki rasa rendah diri, karena dengan berbohong, sebenarnya dia sedang mengukuhkan dirinya sebagai orang penting yang tidak bisa melakukan komunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, kebohongan adalah cara untuk menarik perhatian orang melalui narasi diri dengan kisah-kisah yang berlebihan (Javier Duque, 2012).

 

Apresiasi publik terhadap Ilmu Alam ini berdampak kepada konsekuensi kedua, yaitu tidak adanya proses verifikasi. Alih-alih melakukan pengecekan lebih detail atas pengakuannya, sejumlah media online dan televisi mencerna informasi langsung dari Dwi Hartanto. Padahal sejatinya, verifikasi adalah sesuatu yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni (Bill Kovach, sebagaimana ditegaskan oleh Yusran Darmawan : 2017). Kecepatan untuk lebih mengabarkan kepada publik atas informan yang memiliki “nilai lebih” bisa berdampak terhadap jumlah orang yang membaca dan menonton. Konsekuensinya, perputaran logika ekonomi melalui iklan bisa mempercepat akumulasi kapital dari pemberitaan tersebut. Dengan kata lain, kasus Dwi Hartanto menjadi berita yang bisa dijual ke publik yang berdampak terhadap popularitas dirinya, bahkan KBRI Belanda sempat memberikan penghargaan kepadanya karena telah memenangkan kompetisi riset internasional di bidang Space Craft and Technology. Suatu penghargaan yang kemudian dicabut sendiri oleh pihak KBRI Belanda. Tanpa rasa bersalah, media tersebut juga tidak meminta maaf kepada publik atas kesalahannya yang tidak melakukan proses verifikasi sebagai ujung tombak “objektivitas” sebagai bagian komitmen dunia jurnalistik.

 

Tentu saja, tindakan kebohongan Dwi Hartanto dan liputan media secara massif tanpa proses verifikasi tidak mungkin bisa diterima oleh publik luas tanpa ada faktor lain yang melatarbelakanginya. Dari sini, mentalitas inferior sebagai faktor ketiga dalam memandang masyarakat bekas jajahan terhadap dirinya menjadi penting. Sepanjang sejarah, narasi dan doktrin yang selalu terbentuk adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya. Kekayaan alam yang berlimpah, aman dan tercukupi selalu menjadi “bahasa politik” untuk mendamaikan dan menenteramkan masyarakatnya. Namun,  kerap tersimpan rasa mentalitas inferior untuk mengakui bahwa di balik kekayaan sejarah, budaya serta sumber daya alam yang melimpah, ada pengelolaan negara yang tidak benar. Hal ini berakibat masih tertinggalnya Indonesia di kancah Internasional, khususnya di bidang ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pendidikan.

 

Selain buruknya pengelolaan dalam pelbagai bidang, oligarki politik yang terus hidup dan berkembang pasca rezim Orde Baru telah menggerogoti postur anggaran APBN Indonesia melalui korupsi dan bancakan politik. Kalaupun ada bentuk pengakuan, itu dilakukan sekedar membangun sentimen nasionalisme untuk meraup suara dalam politik elektoral. Karena itu, di tengah narasi bangsa besar dan kaya serta jumlah populasi terbesar keeempat di dunia, pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita adalah mengapa orang Indonesia tidak bisa maju dan berprestasi seperti negara lainnya dalam banyak bidang. Di tengah minimnya prestasi dan kemajuan, ketika salah seorang dari kita berhasil di luar negeri dan mendapatkan prestasi, ada perasaan bangga sebagai warga negara Indonesia. Kebanggaan ini menjadi semacam bagian dari nasionalisme keindonesiaan kita. Dwi Hartanto telah menemukan momentumnya dalam konteks semacam ini.

  

Setidaknya, ada ada dua kata yang jarang sekali digunakan selama proses regenerasi kepemimpinan di Indonesia di pelbagai tingkatan dan bahkan tidak menjadi jargon politik yang bisa dijual, yaitu kekurangan dan kerja keras. Hanya sedikit pemimpin kita, khususnya yang menjabat dalam institusi pemerintahan, yang dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami kekurangan dalam banyak hal. Karena adanya kekurangan itulah setiap warga negara dituntut untuk berhemat dan kemudian bekerja keras agar kekurangan tersebut bisa ditutupi. Pada kampanye 2014, Presiden Joko Widodo dengan tepat menjadikan kabinet kerja sebagai jargon politiknya dengan maksud penghematan terhadap anggaran negara. Jokowi juga berkali-kali memberikan kebijakan kepada para menterinya agar melakukan efektivitas pendanaan dalam pelbagai bidang. Namun, narasi kerja keras yang dicontohkan Presiden Jokowi tidak menjadi agenda nasional sebagai sebuah keterdesakan.

 

Dalam hal ini, Singapura bisa dijadikan contoh bagaimana mereka membangun negara dengan sebuah wacana krisis sebagai bentuk pengontrolan dan pembangunan mentalitas yang kompetitif. Sebagai negara yang tidak memiliki sumber daya alam, negara selalu meminta masyarakatnya untuk berhemat, mulai dari penggunaan air, listrik, bahan bakar, dan lain sebagainya. Bahkan, untuk menciptakan sistem yang kompetitif di antara warganya, negara ini mempekerjakan warga negara asing untuk bekerja di sektor-sektor penting. Selain untuk memutar roda perekonomian, pengangkatan warga negara asing ini juga untuk mengingatkan bahwa warga asli Singapura tidak akan mendapat hak istimewa tanpa adanya persaingan. Dari sini dapat dilihat bahwa sistem meritokrasi benar-benar diterapkan. (Wahyudi Akmaliah, Peneliti P2KK LIPI) 

Populer