Foto di atas adalah foto yang kami ambil sesaat setelah Pak Hafrizal Ketua Serikat Nelayan Indonesia di Belawan Sumatera Utara pulang dari melaut. Dari hasil melaut selama tiga hari Pak Hafrizal mampu memperoleh penghasilan sekitar 2 juta rupiah. Pak Hafrizal menuturkan bahwa penghasilan ini tergolong bagus terutama pasca terjadinya pembakaran kapal trawl beberapa waktu lalu. Pak Hafrizal menambahkan bahwa jika tidak ada pelarangan dan pembakaran terhadap trawl maka penghasilan nelayan kecil macam Pak Hafrizal menjadi sangat berkurang. Hal ini disebabkan karena kapal-kapal trawl memiliki teknologi yang lebih modern sehingga mereka mampu mengambil hasil laut lebih banyak daripada para nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing.
Cerita Pak Hafrizal ini melengkapi narasi perseteruan antara nelayan dengan para pemilik kapal trawl yang marak terjadi akhir-akhir ini. Pada Desember 2013 Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan Sumatera Utara merilis data lima nelayan tradisional yang meninggal dunia serta puluhan kapal tradisional dibakar. Di Kabupaten Langkat ada delapan nelayan tradisional ditangkap karena menolak beroperasinya kapal grandong.[1] Dan pada Selasa 3 Januari 2017 terjadi perseteruan antar nelayan tradisional yang tergabung dalam Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) Medan dengan nelayan yang menangkap ikan menggunakan alat tangkap pukat tarik dua (grandong).[2]
Jika melihat regulasi yang ada, persoalan penggunaan alat tangkap, penggunaan kapal maupun jalur penangkapan ikan sudah diatur secara baik. Seperti misalnya dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/Permen-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan ini dengan jelas mengatur tentang jalur penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dimana jalur penangkapan I meliputi perairan pantai sampai dengan 2 dan 4 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah, jalur penangkapan ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapn I sampai dengan 12 mil dan jalur penangkapan ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. Bahkan dalam bab V pasal 21 juga telah diatur jenis alat tangkap ikan yang dianggap mengganggu dan merusak.
Sementara regulasi yang mengatur tentang besaran kapal yang digunakan serta kategori nelayan juga telah ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam. Dalam pasal 1 Bab 1 ketentuan umum undang-undang ini yang disebut dengan nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sementara itu yang disebut dengan nelayan kecil dalam peraturan yang sama adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).
Jika menilik pada regulasi ini maka memang benar bahwa Pak Hafrizal masuk dalam kategori nelayan kecil karena kapal yang dia miliki berukuran kurang dari 10 GT. Kami berkesempatan untuk melihat langsung kapal milik Pak Hafrizal yang disandarkan persis di belakang rumah Pak Hafrizal yang merupakan muara sungai yang menghubungkan dengan laut. Gambar-gambar di bawah ini adalah gambar yang sempat kami abadikan ketika kami datang ke rumah Pak Hafrizal.
Datang dan mendengar langsung keluh kesah para nelayan atas kondisi yang menimpa hidup mereka selama saya bersama Tim Kajian Konflik SDA Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengunjungi Belawan Medan Sumatera Utara 7-14 Mei 2017 lalu, membuat kami berfikir bahwa membakar adalah ekspresi perlawanan mereka terhadap kapal trawl yang memasuki jalur pelayaran milik nelayan tradisional.
Perlawanan para nelayan di Belawan dengan jalan membakar kapal diklaim oleh mereka sebagai satu cara yang paling efektif untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah dan media. Cara ini ditempuh oleh para nelayan karena saluran yang disediakan hanya menampung aduan tanpa ada solusi dan tindakan seperti yang mereka harapkan. Dalam kondisi yang sudah tertekan, nelayan ini memobilisasi diri dengan para nelayan yang sedang melaut untuk menghalau, mensweeping bahkan jika perlu membakar kapal-kapal trawl yang memasuki jalur penangkapan ikan yang menjadi hak nelayan kecil.
Menjadi menarik untuk melihat perlawanan yang dilakukan oleh para nelayan ini. Jika mengacu pada tesis Scott (1985), perlawanan dari kelompok yang dianggap tidak berdaya cenderung dilakukan secara diam-diam/terselubung, dilakukan dengan sedikit atau bahkan tanpa ada koordinasi/perencanaan serta menghindari konfrontasi secara langsung dengan pemilik otoritas. Tesis ini menjadi tidak pas ketika ditempatkan pada kasus nelayan di Belawan Sumatera Utara ini. Para nelayan justru melakukan koordinasi dan perencanaan sebelum mereka melakukan pembakaran. Bahkan pemahaman terhadap regulasi yang dijadikan basis bagi perlawanan mereka untuk membakar kapal trawl-pun sudah ada dalam diri mereka.
Kondisi tertekan bagi orang-orang yang tidak berdaya justru akan melahirkan bentuk-bentuk perlawanan yang lebih bervariatif. Seperti yang dilakukan oleh Forum Aliansi Organisasi dan Masyarakat Nelayan Sumatera Utara di bawah pimpinan Sutrisno. Mereka mampu mengkoordinir diri ketika berhadapan dengan para pemilik kapal. Bahkan organisasi masyarakat nelayan kecil ini mampu mempertemukan pihak-pihak terkait seperti pemilik kapal trawl, perwakilan nelayan Pantai Labu, Pokmaswas/Gapokkan Deli Serdang dan para pemangku kepentingan (DKPP Provinsi Sumatera Utara, Kamla Lantamal Belawan, Polair Polda Sumatera Utara, Polres Deli Serdang, Kodim 0204/DS, PSDKP Belawan, Kadis Perikanan dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang, Kadis Perhubungan Kabupaten Deli Serdang, Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Deli Serdang, Kabag Adm SDA, Camat Pantai Labu) untuk menandatangi kesepakatan agar pemilik kapal trawl tidak melanggar jalur yang tertera dalam peraturan perundangan serta pihak berwenang mau menenggakkan sanksi bagi para pelanggar. Sejauh ini kesepakatan ini terus terjaga. Tidak hanya itu saja nelayan ini di bawah pimpinan Sutrisno ini mampu menciptakan kepedulian terhadap keberlangsungan ekologi kelautan dengan menanam mangrove. Uniknya mereka bisa berjejaring dengan Universitas Sumatera Utara dalam hal ketersediaan bibit mangrove. Bagi para mahasiswa yang akan praktek lapangan di lokasi tempat Sutrisno berada wajib membawa bibit mangrove sejumlah yang telah disyaratkan.
Strategi perlawanan ini mirip dengan yang dilakukan oleh petani cabe di Kulon Progo. Para petani cabai di Kulon Progo mampu mewadahi perjuangan mereka dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).[3] Para petani lahan pantai ini mampu menemukan pola tanam, sistem tanam dan pola penjualan yang unik dan berbeda dengan petani serupa di daerah lain. Dari sumur brunjung hingga sumur renteng, dari tumpang sari hingga sistem penjualan melalui pengelompokkan dan lelang menjadi salah satu bentuk perlawanan mereka terhadap intervensi luar yang akan mengganggu sistem tanam dan pola penjualan mereka. Pengorganisasian dan penciptaan sistem yang berbeda dengan yang lain membuat mereka mampu bertahan ketika berhadapan dengan kelompok yang akan ‘mengganggu’ lahan yang mereka miliki. (Septi Satriani)
[1] http://www.mongabay.co.id/2013/12/10/kala-pukat-grandong-hancurkan-habitat-laut-belawan-dan-sumut/ diakses 6 Februari 2017 pukul 09.34.
[2] http://mudanews.com/2017/01/05/kadis-kelautan-dan-perikanan-beri-pembinaan-pasca-konflik-antar-nelayan-di-belawan/ diakses pada Selasa 6 Februari 2017 pukul 10.50.
[3] Widodo, Menanam adalah Melawan, (Yogyakarta: PPK-LP dan Tanah Air Beta, 2008), hlm. 17.