Pada awal tahun 2017, pemerintah disuguhkan dengan dua pengingat soal kasus HAM yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini selama beberapa dekade. Pertama, peringatan 10 tahun Aksi Kamisan pada 18 Januari 2017; dan kedua, pemutaran film “Istirahatlah Kata-Kata” yang tayang satu hari kemudian. Keduanya mempunyai benang merah yang sama bahwa ada mereka yang hilang, belum kembali, dan penjelasan yang tak kunjung datang.
Aksi Kamisan di depan Istana Negara pertama kali dilakukan pada hari Kamis, 18 Januari 2007. Aksi ini diinisiasi oleh Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) yang sebagian besar merupakan keluarga korban peristiwa 1998-1999.Dengan payung hitam para keluarga korban berdiri selama satu jam mulai pukul 16.00-17.00 setiap minggunya. Hingga saat ini, 476 aksi damai telah dilakukan. Ratusan pucuk surat sudah dikirim ke Presiden, meskipun balasan bahwa kemana surat itu ditembuskan tidak pernah diberikan.
Dalam sambutannya, Suciwati, istri mendiang pejuang HAM Munir, menekankan bahwa acara 10 tahun aksi Kamisan merupakan sebuah upaya melawan lupa bahwa hak asasi dan korban hanya menjadi komoditas politik di negeri ini. Beberapa pegiat HAM yang hadir dalam acara itu mempunyai desakan yang sama bahwa Presiden Jokowi sebagai representasi negara wajib menunaikan tanggung jawab negara untuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini.
Desakan senada dengan media berbeda disuguhkan oleh film “Istirahatlah Kata-Kata”. Film yang menceritakan satu fase kehidupan Wiji Thukul selama masa pelariannya di Pontianak. Film ini berupaya membawa sang penyair vokal jaman Orde Baru yang hilang pada tahun 1998 itu lebih dekat kepada generasi muda Indonesia yang mungkin hanya pernah mendengar atau justru tidak pernah mendengar kisahnya sama sekali.
Kesenjangan pengetahuan mengenai Wiji Thukul nampaknya tak lepas dari minimnya akses terhadap karya-karyanya. Syair-syairnya tidak diajarkan di sekolah dan jurusan-jurusan sastra (Hakam, 2017). Meskipun faktanya, baik sutradara maupun produser film ini adalah generasi yang lahir di awal 1980-an, yang mengenal Wiji Thukul secara terbatas di masa remaja mereka lewat karya-karyanya yang tentu tidak sepopuler sajak Rendra. Namun, sekali lagi, upaya mereka untuk membawa kembali sekelumit hidup Wiji dan karya-karyanya ke ruang publik di jaman ini patut diapresiasi. Ini adalah sinyal bahwa penghilangan orang bukanlah persoalan sejarah yang hanya bisa diratapi dan akan hilang sendiri.
Selain melalui aksi langsung dan film, media pengingat lain yang digunakan untuk menyalurkan kegelisahan dari genarasi muda mengenai solidaritas serta dukungan terhadap HAM adalah situs (website). “Ingat65” salah satunya. “Ingat65” (https://medium.com/ingat-65) adalah media baru bagi para generasi muda untuk menuangkan refleksi maupun pengalaman personalnya seputar peristiwa 1965, termasuk bagaimana impunitas yang terus terpelihara sejak peristiwa lebih 50 tahun silam itu mempengaruhi masyarakat Indonesia saat ini. Dengan menggunakan media sosial, terutama Facebook dan Twitter, generasi muda ini berusaha menggugah kesadaran generasinya atau yang saat ini lebih dikenal dengan generasi milenial untuk memahami sejarah kelam perjalanan bangsa ini, baik dalam bentuk tulisan maupun video testimoni. Sejak diluncurkan di akhir 2015, forum digital ini sudah mengumpulkan lebih dari 70 tulisan yang menarik untuk dibaca. Beberapa diantara kontributor di forum tersebut adalah keluarga penyintas tragedi 65. Dalam satu tulisan berjudul “Kehilangan Yang Tak Pernah Tuntas”, sang penulis, Febriana Firdaus yang merupakan keluarga penyintas menuliskan “jikalau pun kami kehilangan, kami tidak merasakan kehilangan yang tuntas, dalam hati kami masih berharap, suatu hari, ia kembali ke rumah kami”. Tulisan ini menyiratkan benang merah yang sama dengan pesan dalam Aksi Kamisan dan film “Istirahatlah Kata-Kata”: ada mereka yang hilang, belum kembali, dan penjelasan yang tak kunjung datang.
Pengingat lain niscaya akan terus muncul di tahun ini. 2017 merupakan tahun penting bagi Presiden Jokowi untuk pemenuhan janji-janji masa kampanyenya dulu. Ini adalah satu-satunya masa terpanjang yang tersisa sebelum tahun depan bangsa ini akan kembali riuh dengan siklus pemilu lima tahunan di 2019. Keriuhan pemilu presiden dan wakil rakyat tentu sudah akan dimulai di 2018 dan isu ini bukan tidak mungkin akan kembali menjadi komoditas politik kampanye. Janji-janji masa kampanyenya akan terus diputar “Wiji Thukul harus dicari, ia teman baik saya, Mbak Pon teman baik saya”, atau di waktu lain “Wiji Thukul harus ditemukan, hidup atau meninggal”.
Dalam sajak tanpa judulnya, Wiji pernah menulis “kekejaman kalian adalah bukti pelajaran yang tidak pernah ditulis”. Penghilangan-penghilangan orang yang terjadi dalam sejarah bangsa ini tidak diajarkan di sekolah, tetapi tuntutan dari generasi berikutnya untuk penyelesaian kasus penghilangan orang akan tetap hadir sampai kebenaran diungkap dan dipulihkan. Aksi-aksi kaum muda ini akan terus bergerak menggalang solidaritas mencari mereka yang hilang. Sebagaimana yang ditulis Brysks (2015), “solidarity as the recognition of others’ suffering is a basis of speaking rights”. (Lidya Christin Sinaga)