Monday, March 20, 2023

Diskursus Politik Hukum Pemindahan Ibu Kota Negara: Tinjauan Pembentukan Undang-Undang dalam Studi Kebijakan Publik

Endrianto Bayu Setiawan

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Pada 16 Agustus 2019 Presiden Joko Widodo meminta izin kepada DPR RI untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan. Namun demikian, selama tahun 2020 hingga pertengahan 2021 wacana pemindahan tersebut nampak terhenti akibat refocusing kebijakan untuk menangani pandemi Covid-19. Hal tersebut dapat diamati dari pidato kenegaraan Presiden Jokowi tahun 2020 dan 2021 yang biasanya menguraikan rencana kebijakan strategis nasional, sama sekali tidak menyinggung rencana pemindahan IKN. Baru setelah pandemi Covid-19 mereda di triwulan akhir 2021, wacana pemindahan IKN kembali muncul disertai sejumlah kebijakan yang menimbulkan polemik di masyarakat.

Menurut pemerintah, terdapat beberapa tujuan pemindahan IKN diantaranya: (1) menciptakan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi; (2) mengurangi beban permasalahan Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta yang overpopulated; (3) mewujudkan IKN yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan; serta (4) menciptakan peradaban baru sebagai representasi kemajuan bangsa dengan konsep modern, smart, and green city. Pemerintah menginginkan konsep pembangunan di IKN yang baru diadopsi menjadi role model tata kelola pembangunan daerah-daerah di Indonesia kelak. Meski demikian, rencana pemindahan IKN penting dikritisi untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang mengakomodasi hak-hak masyarakat terdampak dan kepentingan umum. Dalam tulisan ini, kebijakan pemindahan IKN akan diuraikan secara terbatas pada aspek legitimasi hukum kebijakan dan politik hukum.

Kajian Pembentukan UU IKN

Ambisi dan keseriusan pemerintah terkait pemindahan IKN tampak dari pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) hingga kebijakan terbaru yang melantik Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN pada 10 Maret 2022. UU IKN pun telah menetapkan nama ibu kota baru yakni ‘Nusantara,’ serta mengatur beberapa aspek strategis mulai dari cakupan wilayah geografis, bentuk dan susunan pemerintahan, penataan ruang dan pertanahan, pemindahan kementerian/lembaga, pemantauan dan peninjauan, hingga sumber keuangan. Berdasarkan laporan Pansus RUU IKN, pembentukan UU IKN dimaksudkan supaya ada kepastian hukum yang jelas dan kontinu (legitimate) mengenai status dan proses pemindahan IKN. Jika ditinjau dari perspektif politik, pembentukan UU IKN tersebut dijadikan sebagai jaminan yuridis bahwa proses pemindahan IKN nantinya tidak serta merta bisa dibatalkan. Dengan demikian, ada kontinuitas kebijakan yang berkelanjutan meski terjadi pergantian pemegang kekuasaan, baik di rumpun eksekutif maupun legislatif.

Lalu, apakah pembentukan UU IKN tersebut sudah dianggap ideal dalam mengakomodasi aspirasi kepentingan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu memahami konsep dasar mengenai pembentukan undang-undang sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang mengharuskan terpenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa asas terkait yang  diulas dalam tulisan ini diantaranya: asas kejelasan tujuan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas dapat dilaksanakan; serta asas keterbukaan.

  1. Asas Kejelasan Tujuan

Asas kejelasan tujuan (beginsel van duidelijke doelstelling) mengatur bahwa pembentukan UU IKN harus mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan Pasal 2 UU IKN, pembangunan Ibu Kota Nusantara bertujuan untuk: (1) menjadi kota berkelanjutan di dunia; (2) sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan (3) menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia.

Permasalahannya, tujuan pemindahan IKN yang tertuang dalam UU IKN nampak memiliki sisi ketidakcermatan perumusan kebijakan serta paradigma tujuan pembentukan UU yang tidak konsisten, yaitu apakah tujuan pembentukan UU IKN dalam rangka ‘memindahkan Ibu Kota Negara’ atau ‘jaminan legitimasi status Ibu Kota Negara’ atau bahkan mengatur dua-duanya. Hal tersebut tentunya menjadi masukan dan evaluasi terhadap pembentuk undang-undang karena secara substansi nampak masih belum sinkron dan hanya menitikberatkan pada upaya pemindahan IKN semata. Padahal idealnya UU IKN perlu mengatur banyak aspek yang lebih spesifik dan komprehensif, tidak sekadar regulasi pemindahannya saja.

  1. Asas Dapat Dilaksanakan

Asas dapat dilaksanakan yakni pembentukan UU IKN harus memperhitungkan efektivitas berlakunya peraturan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sebagaimana tujuan pemindahan IKN yang telah diuraikan sebelumnya, aspek filosofis ini mengedepankan orientasi kebijakan untuk pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi masyarakat luar Pulau Jawa, ttermasuk menciptakan role mode pembangunan daerah kelas dunia. Sebenarnya, pernyataan tersebut terkesan paradoks apabila dikaitkan dengan konsep pemerintahan daerah mengingat paradigma pembangunan nasional saat ini mengedepankan pembangunan dari desa, daerah perbatasan, dan pinggiran. Sehingga nampak jelas filosofi pemindahan IKN adalah akal-akalan untuk menunjukkan kegagalan praktik otonomi daerah yang diterapkan selama ini.

Nama ibu kota yang menimbulkan polemik pro kontra di masyarakat memang patut dibenarkan. Selama ini istilah ‘Nusantara’ merujuk pada seluruh wilayah Indonesia (KBBI, 2016). Kalaupun terdapat klaim yang menyatakan bahwa ‘Nusantara’ merupakan wujud representasi ke-Indonesia-an, maka disini Penulis berpandangan bahwa klaim tersebut rancu secara filosofis dan mengkerdilkan makna nusantara yang selama ini dipahami sebagai integrasi wilayah nasional. Apabila dipadankan dengan Jakarta sebagai nama ibu kota, selama ini tidak mengandung pertentangan filosofis-representatif, baik yang berkaitan dengan aspek kedaerahan (local wisdom) atau pemahaman kenusantaraan itu sendiri. Karakteristik nama memiliki filosofi tersendiri yang berbeda-beda.

Selanjutnya, dari aspek sosiologis, pemindahan IKN yang termaktub dalam UU IKN pun tidak menunjukkan adanya urgensi yang bermakna (meaningful interest) sebagaimana dikehendaki masyarakat, khususnya di daerah  calon IKN. UU IKN yang menjadi legitimasi pemindahan IKN sebelum dibuat dan dirumuskan seharusnya menyerap aspirasi seluruh rakyat sehingga kebijakan yang akan dibuat mencerminkan kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan Pemerintah, atau bahkan elite politik semata. Masyarakat daerah dan masyarakat adat di IKN merupakan entitas yang paling terdampak secara langsung dengan berbagai aktivitas pembangunan. Nasib masyarakat beserta lingkungan terdampak semestinya menjadi concern yang harus diutamakan. Pemindahan IKN adalah kebijakan jangka panjang yang implikasinya menyasar berbagai sektor kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Telah diuraikan di penjelasan sebelumnya tentang asas kejelasan tujuan. Dua hal yang perlu di-highlight dari kekurangan yuridis UU IKN adalah kecacatan formil dan materiil pembentukan. Salah satu wujud nyata kecacatan materiil adalah tidak sinkronnya pertimbangan filosofis pemindahan IKN yang dimaktub dalam butir pasal dan ayat, serta tidak terakomodasinya hak-hak masyarakat daerah khususnya masyarakat adat. Sementara itu, kecacatan formil berkaitan dengan proses pembentukan UU IKN yang belum tentu mendapat legitimasi rakyat karena pembentukannya yang sangat cepat. Rakyat tidak banyak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan.

  1. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan mengatur bahwa UU IKN harus benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas ini memiliki keterkaitan dengan asas kejelasan tujuan dan aspek sosiologis dalam penjelasan sebelumnya. Kedua asas tersebut memiliki persamaan kehendak bahwasanya pembentukan UU harus melihat sisi kejelasan idealitas, urgensitas, dan manfaat untuk apa dan mengapa peraturan itu dibuat. Untuk memahami maksud dari asas ini tentunya perlu memahami beragam persoalan yang muncul di kalangan masyarakat dari berbagai sektor terkait dampak dari pemindahan IKN, mulai dari kemampuan keuangan negara dan kondisi ekonomi, situasi politik, kesiapan pemerintah, serta implikasinya terhadap lingkungan, sosial budaya, pendidikan, dan tata kota wilayah.

Jika mengamati realitas kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini,  masyarakat luas  membutuhkan kebijakan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 yang telah mengacaukan berbagai tatanan sosial. Masyarakat akan lebih senang apabila refocusing program prioritas pemerintah berorientasi pada pemulihan kesehatan dan ekonomi. Hal itu dipandang lebih penting dibandingkan memindahkan IKN melalui legitimasi pembentukan UU IKN.

  1. Asas Keterbukaan dan Asas Partisipatif

Asas keterbukaan (transparency) menghendaki pembentukan UU IKN mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan dilakukan secara transparan kepada publik, sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk memberikan masukan dan partisipasi secara langsung (direct partisipative). Pada umumnya asas inilah yang menjadi kunci legitimasi dalam menentukan kualitas substansi suatu UU. UU IKN dibentuk hanya dalam waktu yang sangat singkat selama 42 hari (Merdeka.com, 2022). Logikanya pembentukan UU IKN dengan segala perdebatan isinya membutuhkan waktu yang sangat lama, terlebih lagi UU IKN dibahas pada masa reses.

Substansi pengaturan strategis yang seharusnya dimuat dalam UU IKN justru banyak didelegasikan pada beberapa peraturan, diantaranya enam Peraturan Pemerintah, tujuh Peraturan Presiden, dan satu Peraturan Kepala Otorita. Delegasi peraturan tersebut justru berkenaan dengan aspek krusial yang bersifat strategis, diantaranya: kewenangan Otorita IKN; pendanaan pemerintahan IKN; rencana kerja dan tata cara pertanggungjawaban anggaran; pengalihan dan pengelolaan Barang Milik Negara; serta pembagian wilayah IKN. Hal tersebut menunjukkan adanya ketergesa-gesaan pembentukan UU IKN karena substansi yang diatur sangat terbatas dan banyak didelegasikan pada peraturan turunan.

Tinjauan Kebijakan Publik dan Politik Hukum

Jika ditinjau secara normatif-yuridis UU IKN memiliki banyak kekurangan substansi yang mendasar karena minimnya ruang lingkup pengaturan. Substansi pengaturan yang termaktub dalam UU IKN banyak yang digambarkan secara abstrak atau tidak detail mengatur persoalan konkret. Contoh paling jelas pengaturan yang abstrak adalah Pasal 21 dan Pasal 37 UU IKN.

Pasal 21 pada pokoknya mengatur hak-hak masyarakat mengenai penataan ruang, pengalihan hak atas tanah, dan lingkungan hidup. Pada dasarnya keberadaan Pasal 21 di atas sangatlah penting dalam melindungi hak-hak individu dan masyarakat adat. Sebagaimana diketahui hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU khusus yang memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Karena secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, sudah semestinya pembentukan UU IKN harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat adat secara komprehensif.

Pasal 37 mengatur partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan IKN. Pada pasal ini tidak dijelaskan secara detail mengenai mekanisme pengawasan dan pelibatan masyarakat secara langsung selama pembangunan IKN. Satu aspek mendasar yang juga luput tidak diatur UU IKN adalah mekanisme persetujuan masyarakat adat (indigenous peoples consent) terhadap semua program kebijakan yang berkaitan dengan pemindahan IKN.

Selain Pasal 21 dan Pasal 37 di atas, sebenarnya masih banyak aspek pengaturan UU IKN yang bisa dikritisi. Namun demikian, tulisan ini hanya terbatas menguraikan kelemahan mendasar bahwa UU IKN bermasalah secara formil dan materiil. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kualitas kebijakan pemindahan IKN sangat buruk, tidak prosedural, tidak terencana, tergesa-gesa, hingga mengabaikan aspirasi masyarakat. Sikap tergesa-gesa itu setidaknya dapat diamati dari pembentukan UU IKN yang super kilat hanya 42 hari. Praktik pembentukan UU tersebut tidak lazim terjadi. UU IKN yang menjadi legitimasi kebijakan politik seharusnya memuat berbagai aspek pengaturan yang jelas, konkret, dan komprehensif.

Sebelum UU IKN disetujui dan diundangkan, terdapat satu hal yang cukup fatal dalam perencanaan pembentukan UU, yakni Naskah Akademis (NA) yang dibuat secara serampangan dan terkesan asal-asalan. NA yang memuat 175 halaman sangat terbatas menguraikan permasalahan bangsa dan negara, termasuk pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Logikanya, pemindahan IKN yang merupakan megaproyek tentunya akan berkenaan dengan banyak sektor yang terdampak, di antaranya lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi, politik kebijakan publik, hukum pemerintahan daerah, perencanaan tata kota dan wilayah, hingga aspek kepentingan hukum masyarakat setempat terdampak yang harusnya dilindungi.

Hukum merupakan produk politik sehingga konfigurasi politik akan sangat menentukan hukum yang dibentuk atau diberlakukan di suatu negara. Meminjam teori politik hukum Mahfud MD (2017: 30), Penulis mengacu pada konsep konfigurasi politik sebagai konstelasi kekuatan politik yang terdiri dari konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Dalam hal ini, Penulis mengkategorikan UU IKN sebagai produk hukum yang berkarakter konservatif, ortodoks, dan elitis. Sebagaimana dicirikan oleh Mahfud MD (2017: 32), karakter hukum tersebut secara substansi lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan bersifat ortodoks yang menutup tuntutan kelompok dan individu di dalam masyarakat. Terlebih lagi pembuatan UU IKN yang sangat cepat (fast track) serta akses partisipasi masyarakat yang minim dan tidak banyak terakomodasi, cukup memberikan gambaran bahwa UU IKN dapat dikatakan merupakan produk hukum yang berkarakter konservatif, ortodoks, dan elitis.

Pada konfigurasi politik otoriter, susunan sistem politiknya memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi politik jenis itu ditandai dengan adanya dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dan dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara. Meski Indonesia adalah negara demokrasi, namun nyatanya pembentukan UU IKN serta sejumlah UU dan kebijakan publik selama empat tahun terakhir menunjukkan adanya penyimpangan prosedur perumusan kebijakan. Banyak terjadi judicial review terhadap UU kontroversial di Mahkamah Konstitusi, termasuk UU IKN.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

Buku

Sihombing, Eka NAM dan Ali Marwan. 2021. Ilmu Perundang-Undangan. Malang: Setara Press

Mahfud. 2017. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Berita Online

https://www.kominfo.go.id/content/detail/20729/pemindahan-ibu-kota-untuk-pacu-pemerataan-dan-keadilan-di-luar-pulau-jawa/0/berita

https://www.merdeka.com/politik/alur-dan-tahapan-pembahasan-uu-ikn-dalam-tempo-42-hari-be-smart.html

https://www.republika.co.id/berita/qf1q38377/jokowi-tak-singgung-ibu-kota-baru-saat-pidato-di-depan-dewan

https://www.setneg.go.id/view/index/presiden_jokowi_tegaskan_rencana_pemindahan_ibu_kota_di_hadapan_anggota_dewan

Lain-lain

Laporan LSM Bersihkan Indonesia. Tanpa Tahun. Ibu Kota Baru Buat Siapa?. Diakses dari https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/Laporan%20Tahunan/ FINAL%20IKN%20REPORT.pdf. Diakses pada 11 Maret 2022.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara

Populer