Monday, March 20, 2023

Indonesia di Ambang Krisis Kepemimpinan Nasional

Periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai memasuki babak akhir. Dalam waktu dua tahun ke depan, Indonesia akan kembali menyelenggarakan pemilihan umum serentak. Salah satu agendanya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Sayangnya, alih-alih mempersiapkan kandidat dan tahapan pemilu, elite politik nasional malah bergelut pada wacana tentang penambahan masa jabatan presiden. Wacana ini sebenarnya sudah berkembang dan didiskusikan sejak penghujung 2019, salah satunya oleh politisi sekaligus ketua fraksi partai Nasdem di MPR, Johnny Gerard Plate. Pada tahun ini, wacana tersebut semakin berkembang. Wacana perubahan konstitusi untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode ini pun menuai kritik pedas, salah satunya dari Amien Rais, mantan Ketua MPR RI.

 

Perubahan Masa Jabatan

Wacana penambahan masa jabatan ini umum terjadi pada sejumlah negara di dunia. Wacana ini memang kerap muncul menjelang akhir periode jabatan presiden, seperti yang terjadi di Colombia, Honduras, Bolivia, Argentina, Ekuador, dan tidak terkecuali Amerika Serikat (Columbia Law Review, 2020). Pada praktiknya, penambahan masa jabatan di negara-negara tersebut dapat dikatakan relatif sulit karena dibutuhkan kekuatan presiden (eksekutif) yang kuat untuk mendapatkan dukungan dari legislatif dan yudikatif.  Jika pemerintah serius untuk merealisasikan perubahan masa jabatan menjadi tiga periode, maka pemerintah perlu meyakinkan MPR dan Mahkamah Konstitusi untuk bersidang dalam rangka melakukan amandemen UUD 1945.

Sepanjang sejarah praktik ketatanegaraan di Indonesia, peluang amandemen konstitusi merupakan hal yang mungkin terjadi. Hal itu bisa dilihat dari empat kali amandemen di era reformasi tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Bila dibandingkan dengan praktik ketatanegaraan secara global, baik negara demokratis maupun non-demokratis, perubahan konstitusi adalah suatu kelaziman.  Dua hal yang penting diperhatikan yakni kekuatan presiden sebagai kepala pemerintahan untuk menyerukan amandemen dan kemudahan mekanisme amandemen konstitusi yang dianut negara tersebut. Meskipun demikian, ketika menyentuh materi muatan penambahan masa jabatan, hal ini perlu dipertimbangkan secara mendalam. Pertama, wacana perubahan masa jabatan berkaitan erat dengan kepentingan politis dari golongan yang “masih” ingin berkuasa atau melanjutkan kekuasaan. Kedua, wacana ini berlawanan dengan usaha-usaha kolektif bangsa yang mengarah pada konsolidasi demokrasi.

Sebetulnya, pembatasan masa jabatan presiden adalah upaya untuk memastikan terjadinya pergantian kekuasaan secara berkala dan merupakan “unsur pembeda” antara negara rezim demokrasi dan rezim non-demokrasi. Pada negara non-demokrasi bisa saja masa jabatan presiden tidak dibatasi dan berlangsung seumur hidup. Hal itu tentu tidak bisa diberlakukan pada negara demokrasi seperti Indonesia. Upaya mengubah konstitusi untuk menambah masa jabatan presiden justru akan mengembalikan Indonesia kembali ke periode sebelum Reformasi. Artinya, ketika wacana penambahan masa jabatan presiden digulirkan secara serius oleh elite politik, dapat dikatakan demokrasi kita sedang berada pada langkah mundur. Bila kita kembali pada rasio logis di balik pengaturan masa jabatan presiden dalam konstitusi Indonesia pasca-Reformasi, dapat dipahami bahwa aturan itu muncul untuk menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pimpinan negara dan partai pendukungnya yang berkuasa dalam jangka waktu  lama.

Wacana penambahan masa jabatan presiden justru melemahkan sistem presidensial yang dilembagakan Indonesia secara konstitusional dan merupakan resultante bersama pasca-Reformasi. Sistem presidensial meniscayakan pergantian kepemimpinan secara berkala untuk menghindari sentralisasi kekuasaan lembaga eksekutif yang berlebihan (executive heavy) dan loyalitas pada satu kepemimpinan yang berkuasa, sebagai upaya untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintahan demokratis. Dampak dari penambahan masa jabatan presiden adalah terjadinya defisit demokrasi akibat dari penambahan masa jabatan yang didasarkan hanya pada pertimbangan atau ambisi politik kelompok atau golongan tertentu.

Bila ditilik secara mendasar, wacana ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, adanya keinginan atau ambisi politik dari kelompok tertentu untuk tetap melanjutkan kekuasaan presiden saat ini. Kedua, amandemen konstitusi memang dimungkinkan sepanjang diatur dalam konstitusi itu sendiri, dan merupakan suatu keniscayaan dalam upaya penguatan sistem presidensial. Ketiga, ada kekhawatiran dan ketidaksiapan elite dan partai politik untuk menghadapi kontestasi Pemilu Serentak 2024.

 

Krisis Tokoh Nasional

Jika kita melihat dinamika politik nasional saat ini, tidak banyak tokoh nasional atau kader partai yang karismatik dan memiliki elektabilitas tinggi untuk dicalonkan pada pemilu mendatang. Partai masih sibuk dengan masalah internal yang belum mengarah pada rekonsiliasi konflik. Hal ini bahkan terjadi pada partai-partai yang tergolong besar.

Berdasarkan survei terbaru yang dilakukan oleh LSI dan Indobarometer soal calon presiden 2024, hanya ada lima tokoh nasional yang memiliki elektabilitas sekitar 5-20 persen. Kelima tokoh tersebut adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno. Kelima nama tersebut dapat dikatakan “pemain lama” yang telah ikut dalam kontestasi politik tahun 2014, baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kata lain, belum ada nama baru yang muncul dalam perkembangan politik saat ini. Sementara itu, kelima nama tersebut hanya berasal dari dua partai peserta pemilu (Partai Gerindra dan PDIP) dan calon perseorangan yang diusung oleh koalisi partai politik pada pemilu sebelumnya. Jika dilihat dari jumlah partai yang ada di parlemen, terdapat sembilan partai politik hasil Pemilu Serentak 2019. Artinya, tidak seluruh partai memiliki tokoh nasional yang memiliki elektabilitas untuk ikut dalam  pemilu mendatang.

Minimnya jumlah tokoh atau kader yang diperhitungkan dalam kancah politik nasional ini dipengaruhi oleh kinerja partai politik. Setelah dua dekade Reformasi, partai-partai politik di Indonesia masih belum terinstitusionalisasi secara baik. Masih ada catatan tentang tidak optimalnya kinerja partai politik dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, terutama dalam fungsi utamanya sebagai sarana rekrutmen politik. Secara kelembagaan, potret partai politik saat ini menunjukkan belum mampunya partai-partai ini menampung dan menyeleksi kader-kader terbaiknya.. Oleh karena itu, mengingat waktu yang masih memungkinkan sebelum memasuki tahapan pemilu mendatang, elite partai dan politisi tidak perlu membuang energi dan konsentrasi untuk membahas wacana penambahan masa jabatan presiden. Sebaliknya, elite partai sudah waktunya fokus pada upaya mempersiapkan kader-kader terbaik dari masing-masing partai politik untuk bersaing secara demokratis dalam Pemilu Serentak 2024.

Upaya amandemen konstitusi sebaiknya dilakukan dengan dorongan untuk memperbaiki atau membenahi institusi demokrasi dan penguatan sistem presidensial di Indonesia, sebesar-besarnya demi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan politis atau golongan tertentu. Demokrasi akan berubah menjadi tirani jika dihidupi oleh dukungan-dukungan politik yang membenarkan pandangan atau pendapat fanatik elite tertentu yang inkonstitusional. Dengan kata lain, wacana penambahan masa jabatan presiden merupakan ancaman demokrasi langsung jika pemerintah atau elite politik tetap berkeinginan merealisasikan wacana tersebut secara formal. (Devi Darmawan dan Sutan Sorik)

Populer