Monday, March 20, 2023

Lari Dari Massa Aksi: Pemindahan IKN dan Nasib Gerakan Protes

Zamzam Muhammad Fuad

Peneliti BRIN

Dalam suatu pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan keputusannya untuk memindahkan ibu kota negara. Isyarat pemindahan ini sesungguhnya sudah terlihat sejak tiga bulan sebelumnya. Di hadapan para pimpinan lembaga tinggi negara, pada 7 Mei 2019, presiden menyampaikan kekhawatirannya tentang ibu kota Jakarta yang rawan bencana alam karena berada di kawasan “ring of fire” (Intisari Online, 7 Mei 2019). Kini, UU Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah disahkan. Masyarakat tinggal menunggu peristiwa eksodus ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Dalam dokumen naskah akademis, alasan dibalik pemindahan IKN adalah karena faktor alam. Jakarta dianggap tidak optimal untuk menjadi kota yang menjamin warganya aman, terhindar dari bencana alam (Kementerian PPN/Bappenas, 2021). Laporan tersebut mengulangi kembali wacana kengerian ring of fire yang pernah disampaikan oleh presiden. Dalam ilmu kebumian, ring of fire merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas seismik yang berada di sekitar tepi Samudra Pasifik. Kawasan itu rentan mengalami gempa bumi. Jakarta yang masuk dalam kawasan itu diprediksi akan mengalami gempa bumi berskala besar atau megathrust. Ancaman inilah yang menguatkan pemindahan IKN ke Pulau Kalimantan.

Namun kuatnya wacana tentang ring of fire ternyata menutupi kenyataan bahwa Jakarta juga masuk dalam kawasan ring of protest. Selama ini Jakarta merupakan bagian penting dari ring of protest tempat masyarakat melakukan unjuk rasa atau demonstrasi. Tentu saja ring of protest tidak hanya Jakarta. Beberapa kota besar juga telah menjadi saksi adanya gelombang aksi demonstrasi. Namun dengan banyaknya aksi demonstrasi di Jakarta, dan beberapa di antara aksi itu merupakan peristiwa yang monumental, sebut saja demonstrasi mahasiswa Mei 1998, maka boleh dikatakan bahwa Jakarta adalah pusat dari ring of protest.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur bukan hanya bermakna menjauhkan rezim dari ring of fire. Lebih dari itu, disadari atau tidak, juga menjauh dari ring of protest. Dengan kata lain, pemindahan IKN juga memiliki dampak terhadap lanskap politik Indonesia, khususnya terkait aktivitas demokrasi masyarakat sipil.

Jakarta sebagai pusat “ring of protest

Perjalanan demokrasi di Indonesia berhutang banyak pada politik populer (popular politics) –suatu politik yang melibatkan massa akar rumput dan secara konseptual berlawanan dari istilah politik elite (Aspinall, 2014). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi oleh aktivis kampus atau buruh yang memprotes kebijakan atau mendelegitimasi rezim politik tertentu. Sejarah mencatat bahwa peran massa nyaris selalu ada dalam hampir di setiap pergantian rezim politik. Mulai dari pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, atau dari Orde Baru ke Reformasi. Bahkan di era Reformasi, pergantian rezim politik juga masih melibatkan massa, yaitu ketika peralihan presiden dari Abdurrahman Wahid ke Megawati. Apabila diingat kembali, ternyata baru-baru ini saja Indonesia mengalami perubahan rezim tanpa didahului oleh suatu gerakan protes massa besar-besaran. Maka tidak berlebihan rasanya bila mengatakan bahwa roda demokrasi di Indonesia bergerak karena adanya dorongan dari aksi-aksi demonstrasi seperti itu.

Aksi demonstrasi yang selama ini terjadi di Indonesia nampaknya memiliki karakteristik yang identik, yaitu diinisiasi oleh mahasiswa, buruh, dan LSM (Lane, 2014; Hadiz, 2005; Dibley & Ford (ed), 2019). Selain itu, aksi demonstrasi juga identik terjadi di lokasi-lokasi tertentu. Lokasi ini biasanya ditandai oleh banyaknya kampus atau kawasan industri. Itulah tempat berada para aktivis, ketersediaan buku, kegiatan literasi, ruang diskusi dan sebaran ide-ide revolusioner. Maka sebut saja tempat seperti DIY, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur atau Sulawesi Selatan, marak terjadi aksi-aksi demonstrasi. Kota inilah yang lantaran intensitas protes dan reputasi historisnya ikut membentuk kawasan ring of protest di Indonesia. Dalam sejarah, aktivitas seismik yang terjadi pada ring of protest ini dapat mengakibatkan gempa sosial-politik yang dahsyat di pusat episentrum politik Indonesia, yaitu Jakarta.

Lalu sebenarnya dimanakah ring of protest itu? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan mengukur intensitas aksi demonstrasi dan konsentrasi demonstran di suatu wilayah. Menurut data BPS, Sulawesi Selatan dan Jakarta menduduki peringkat pertama dan kedua provinsi yang paling sering terjadi aksi demonstrasi. Dalam 4 tahun (2017-2020), jumlah aksi demonstrasi yang terjadi di Sulawesi Selatan mencapai 4.652, selisih 19 dengan Jakarta yang berjumlah 4.633. Disusul provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara. Sementara itu, Kalimantan Timur, provinsi tempat calon IKN, berada di urutan 23. Dalam 4 tahun belakangan, di Kalimantan Timur terdapat total 17 aksi demonstrasi. Tabel 1. memberikan gambaran awal mengenai aktivitas seismik ring of protest di Indonesia.

Tabel 1. Jumlah Aksi Demonstrasi dalam Merespon Kebijakan Publik 2017-2020

Sumber: Statistik Politik 2021 (BPS, 2021)

Rentetan demonstrasi yang terjadi pada September 2019 bisa memberi gambaran lebih lanjut mengenai aktivitas seismik kawasan ring of protest di atas. Pada saat itu, gelombang aksi menolak RUU KPK dan RKUHP terjadi di seantero negeri. Menurut data Tempo, gelombang aksi itu terjadi di Jakarta, Semarang, Surakarta, Malang, Pamekasan, Bandung, Medan, Makassar, Palopo, Sinjai, Palembang, dan Jayapura. Bahkan redaksional Tempo menyebut daerah ini sebagai “daerah-daerah panas” (Tempo.co, 25 September 2019).

Di antara daerah-daerah panas itu, Jakarta yang paling mendapat sorotan karena unggul dalam hal durasi demonstrasi dan jumlah massa aksi sebagaimana tampak di Tabel 2. Aksi demonstrasi di Jakarta terkait penolakan RUU KPK dan RKUHP berlangsung pada 23-26 September 2019. Sementara itu di daerah lain umumnya hanya berlangsung sehari, antara 23 atau 24 September 2019. Jumlah demonstran di Jakarta juga lebih banyak daripada daerah lain. Pada 24 September saja, jumlah demonstran di Jakarta mencapai 15.000 orang demonstran. Sementara itu di Jawa Tengah terdapat 8.500 orang, disusul Lampung (4.500), Jawa Timur (3.450), Sumatera Utara (3.000), Aceh (2.850), dan Sulawesi Selatan (2.850 orang). Di Kalimantan Timur, daerah calon IKN yang baru, demonstrasi diikuti oleh 160 orang demonstran (Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah Peserta Demonstrasi Pada Aksi 24 September 2019

Sumber: Majalah Tempo, 28 September 2019

Jadi meskipun Sulawesi Selatan menduduki peringkat pertama dalam hal jumlah aksi demonstrasi, namun dalam hal kuantitas demonstran atau konsentrasi massa, Jakarta dan kota-kota lain di Jawa masih unggul. Ini bukan hanya karena di Pulau Jawa terdapat banyak pusat pendidikan atau kawasan industri. Faktor infrastruktur jalan dan sarana transportasi juga menjadi alasan yang siginifikan. Misalnya dalam “Aksi 212”, massa aksi dari berbagai daerah dapat berkumpul di Jakarta memanfaatkan jaringan jalan tol dan kereta api (Koran Tempo, 2 Desember 2016). Konsolidasi dan konsentrasi massa akan lebih mudah dilakukan di lokasi yang memiliki akses akomodasi dan fasilitas transportasi yang memanjakan, seperti Jakarta.

Sejarah telah membentuk Jakarta sebagai episentrum ring of protest. Tidak terhitung banyaknya aksi demonstrasi yang pernah dilakukan di Jakarta. Mulai dari rentetan protes terhadap kebijakan publik hingga penumbangan rezim politik pernah terjadi di Jakarta. Lalu, bagaimana kita membayangkan gerakan protes pasca pindahnya IKN?

Cetak biru pemindahan IKN sama sekali tidak menyebutkan bagaimana pengelolaan gerakan protes di Nusantara (calon nama ibu kota baru). Yang disinggung lebih banyak adalah masalah pengelolaan lingkungan alam, tempat tinggal, jaringan infrastruktur jalan, dan sebagainya. Definisi ruang publik yang dibayangkan adalah ruang terbuka hijau. Jauh dari definisi konsep ruang publik ala Habermas: ruang yang memungkinkan terbentuknya opini publik melalui diskusi terbuka, rasional dan bebas dominasi.

Mungkin ada pemikiran optimis yang menyuarakan bahwa demokrasi Indonesia sudah bisa melangkah ke dunia digital. Sehingga aksi pawai demonstrasi dianggap sudah kuno dan tidak dibutuhkan lagi. Tentu saja pemikiran seperti itu membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, apakah itu relevan dengan karakter demokrasi Indonesia.

Sebenarnya bukan tidak mungkin gerakan protes dilakukan melalui perangkat lunak. Seluruh dunia sudah menyaksikan bagaimana media sosial mampu memfasilitasi orang berpendapat secara bebas. Pemerintah juga sudah membuat beragam aplikasi digital untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin mengkritik kebijakan atau layanan publik. Pejabat publik dan institusi politik seperti partai politik juga membuat saluran media sosial untuk menampung aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pemerintah/pejabat publik/institusi politik sudah serius dalam merespons kepentingan/kritik masyarakat yang disampaikan lewat aplikasi atau media sosial? Beberapa kajian menjawab: belum.

Sejumlah kajian menunjukkan bahwa pemerintah justru membatasi aktivitas kritis masyarakat di media sosial melalui pengesahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penelitian yang dilakukan oleh Anindyajati (2021), Setiawan (2012), menjelaskan bahwa UU ITE malah membatasi hak kebebasan berpendapat. Selain itu, penelitian dari Priyanto dan Sardi (2020), Inkeputri dan Rustamaji (2021), menjelaskan bahwa UU ITE tidak memiliki aturan hukum yang jelas sehingga dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk memidanakan warga negara yang menggunakan hak kebebasan berpendapat.

Dalam kasus lain, UU ITE tidak mampu melindungi hak kebebebasan masyarakat sipil dari serangan para pasukan siber. Wijayanto dan Rachbini dkk., (2019) menunjukkan bahwa sekelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah mengalami teror oleh para peretas (hacker). Singkatnya, bukannya melindungi, UU ITE malah menebar teror kepada warga yang kritis dan aspiratif.

Selain itu, penulis pernah melakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana institusi politik mengoptimalkan saluran media sosial (Fuad, 2020). DPR dan DPD sebagai lembaga parlemen telah mengelola beberapa media sosial untuk mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Namun faktanya komunikasi DPR dan DPD masih berjalan searah yaitu sebatas menyampaikan informasi dan aktivitas mereka kepada masyarakat. Media sosial belum sungguh-sungguh digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Ini juga tercermin dalam media sosial milik institusi pemerintah atau pejabat publik. Akun Instagram milik Kementerian Perdagangan, misalnya, tidak pernah merespon komentar masyarakat mengenai kenaikan minyak goreng di pasaran. Jangankan merespon kritik publik, menjawab pertanyaan teknis mengenai cara pemutakhiran Kartu Keluarga saja tidak direspon oleh akun Instagram Kementerian Dalam Negeri. Ada kecenderungan bahwa institusi politik belum cukup hirau terhadap aksi-aksi voluntaristik yang dilakukan masyarakat. Hal ini mencerminkan institusi politik kita masih membutuhkan “tekanan massa” agar bisa berfungsi dengan baik.

Agaknya benar ketika Edward Aspinall (2014) mengatakan bahwa tekanan politik yang didesakkan melalui mobilisasi massa menempati posisi penting dalam politik Indonesia. Dalam hal ini, sejarah menunjukkan bahwa mobilisasi massa di Jakarta berhasil menggerakkan roda demokrasi berskala nasional. Memindahkan ibu kota akan mengubah aliran sejarah ini. Lalu apa gambaran ke depan?

Pemindahan IKN ke Kalimantan Timur memang tidak serta merta memadamkan aksi-aksi demonstrasi. Makassar masih akan tetap bergelora. Demikian juga di Yogyakarta, masih akan tetap ada ratusan mahasiswa berdemonstrasi di Gejayan atau Malioboro. Di Semarang massa aksi tetap akan tumpah ruah di Simpang Lima. Pemindahan IKN tidak akan menghalangi orang berdemonstrasi di mana-mana. Namun setidaknya, pemindahan IKN akan mengamankan pemerintah dari massa aksi di Jakarta. Massa aksi yang sadar bahwa demonstrasi menduduki gedung parlemen adalah “gerakan sesar” sempurna untuk mengguncang sistem politik.

Maka demi kehidupan demokrasi tetap dinamis, IKN baru nanti tidak boleh mengisolasi diri dari publik. IKN baru harus diisi dengan konsep bagaimana merancang pemerintahan yang lebih bertanggungjawab dan responsif terhadap kepentingan publik. IKN baru juga bisa memberi janji bahwa publik dapat mengekspresikan pendapatnya dengan bebas. Boleh saja kita berimajinasi di IKN baru nanti akan ada jaminan nol korupsi atau jaminan adanya mimbar terbuka yang bisa mempertemukan masyarakat dengan wakil rakyat, misalnya. Sehingga IKN baru tidak hanya memperjuangkan smart city, namun juga menawarkan konsep praktik demokrasi baru yang lebih bertanggungjawab dan responsif terhadap kepentingan publik. Jika konsep seperti ini tidak ada sama sekali, maka  pemindahan IKN menyisakan dua makna: pertama, lari dari gempa bumi; Kedua, lari dari massa aksi.

Referensi

Anindyajati, Titis. (2021). “Limitation Of The Right To Freedom Of Speech On The  Indonesian Constitutional Court Consideration”. Indonesian Law Journal Volume 14, Nomor 1, Juli 2021.

Aspinall, Edward. (2014). Agensi dan Kepentingan Massa dalam Masa Transisi dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, dalam PRISMA volume 33, Nomor 1, 2014.

Badan Pusat Statistik. (2021). Statistik Politik 2021. Diambil dari bps.go.id: https://www.bps.go.id/publication/2021/12/16/5da7c5c8904d41d942919e26/statistik-politik-2021.html (diakses tanggal 6 Februari 2022).

Dibley, Thushara dan Michele Ford (ed). (2019) Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia. Itacha: Cornell University Press.

Fuad, Zamzam Muhammad. (2020). Pola Penggunaan Media Sosial oleh Lembaga DPR dan DPD: Sebuah Studi Perbandingan. MEDIA NUSA Volume 2, Maret 2020.

Hadiz, Vedi R. (2005). Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto Jakarta: LP3ES.

Inkeputri, Nabila Yulianda dan Muhammad Rustamaji. (2021). “The Crime Of Hate Speech Through The Internet (Review Of Article 28 Section (2) Of The Information And Electronic Transaction Law)”. Media Keadilan Jurnal Ilmu Hukum Volume 12, Nomor 2, Oktober, 2021.

Intisari Online. (7 Mei 2019). Jokowi Sebut Ibu Kota Harus Pindah karena Jakarta Berada di Kawasan Ring of Fire, Apa Itu? Ini Penjelasan Lengkapnya. Diambil dari Intisari.Grid.id: https://intisari.grid.id/read/031719026/jokowi-sebut-ibu-kota-harus-pindah-karena-jakarta-berada-di-kawasan-ring-of-fire-apa-itu-ini-penjelasan-lengkapnya?page=all (diakses tanggal 6 Februari 2022).

Kementerian PPN/Bappenas. (2021). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Diambil dari dpr.go.id: https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/PANSUS-RJ-20211214-125732-5084.pdf (diakses tanggal 5 Februari 2022).

Koran Tempo (2 Desember 2016). Diambil dari koran.tempo.co: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/409177/mereka-datang-dari-jauh (diakses tanggal 6 Februari 2022).

Lane, Max. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi Aksi Massa dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Majalah Tempo Edisi 28 September 2019.

Priyanto, Grandis Ayuning dan Martinus Sardi. (2020). “The Urgency of Protecting Netizen in Freedom of Speech on Social Media”. Media of Law and Sharia Vol 2, Nomor 1 2020.

Setiawan, M. Nanda. (2021). Mengkritisi Undang-Undang ITE Pasal 27 Ayat (3) dilihat dari Sosio-Politik Hukum Pidana Indonesia. DATIN Law Jurnal Volume 2, Nomor 1, Februari-Juli 2021.

Tempo.co. (25 September 2015). Diambil dari tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1252142/gelombang-demonstrasi-mahasiswa-menggulung-dominasi-dpr/full&view=ok (diakses tanggal 6 Februari 2022).

Wijayanto dan Didik J. Rachbini dkk. (2019). Menyelematkan Demokrasi. Depok: LP3ES.

Populer