Monday, March 20, 2023

ASEAN dan Solidaritas Regional Menghadapi COVID-19

ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) baru saja menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) khusus tentang COVID-19 pada 14 April 2020. Dilakukan secara virtual, KTT yang diikuti kepala pemerintahan sepuluh negara ASEAN diselenggarakan di bawah kepemimpinan Vietnam selaku Ketua ASEAN tahun ini. KTT Khusus semacam ini bukan suatu hal yang baru mengingat hal yang sama juga dilakukan ketika merebaknya virus SARS tahun 2003. Bedanya KTT kali ini dilakukan secara virtual akibat transmisi virus dari manusia ke manusia yang menjadikan social and physical distancing sebagai norma baru, termasuk dalam pertemuan-pertemuan internasional. Pada hari yang sama, KTT ini kemudian dilanjutkan dengan KTT ASEAN Plus Three (APT), yaitu tiga mitra ASEAN di Asia Timur, meliputi Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Membahas hal yang sama, KTT APT ini dihadiri secara virtual oleh PM Tiongkok Li Keqiang, PM Jepang Shinzo Abe, dan Presiden Kor-sel Moon Jae-in.

Banyak kritik yang yang menyebutkan bahwa langkah yang diambil ASEAN saat ini tergolong lambat karena KTT ini dilakukan setelah lebih satu bulan WHO mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Meskipun sebelum ditetapkan sebagai pandemi, pernyataan bersama “Chairman’s Statement on ASEAN Collective Response to the Outbreak of Coronavirus Disease 2019” telah dikeluarkan pada 14 Februari 2020. Ditambah lagi, pertemuan badan-badan sektoral, seperti Menteri Kesehatan, Menteri Pertahanan, Menteri Perekonomian, dan lainnya yang juga telah dilakukan.

Deklarasi bersama yang dihasilkan pada KTT Khusus ini salah satunya telah menegaskan kembali komitmen “untuk bertindak secara bersama dan dengan tegas mengendalikan penyebaran penyakit sambil memitigasi dampak buruknya terhadap mata pencaharian masyarakat kita, masyarakat dan ekonomi kita” Pertanyaannya, sejauh mana komitmen regional ini bisa dilaksanakan dan berdampak signifikan, sementara negara-negara anggota ASEAN sendiri masih terengah-engah dalam upaya domestik masing-masing mengatasi pandemi COVID-19? Hal ini mengingat, pandemi COVID-19 merupakan bencana non-alam atau tepatnya bencana kesehatan, yang tentu memerlukan penanganan yang berbeda dengan bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan lainnya.

Tercatat hingga tanggal 17 April 2020, sebanyak 24.809 kasus terkonfirmasi (WHO et.al, 2020). Terbanyak ada di Indonesia, disusul Filipina, dan Malaysia dengan angka di atas 5.000 kasus. Thailand merupakan negara ASEAN pertama yang mengumumkan adanya kasus positif COVID-19 di negaranya, yaitu pada 21 Januari 2020. Tiga hari kemudian, 24 Januari 2020, Singapura dan Vietnam ikut melaporkan kasus pertama di negerinya. Indonesia baru mengumumkan pada 2 Maret 2020. Namun menariknya, tingkat kematian di Singapura justru rendah, tercatat 10 kematian dari total 4.427 kasus terkonfirmasi hingga 17 April 2020. Sementara Vietnam berhasil menorehkan prestasi dengan tingkat pasien yang sembuh tertinggi dan tidak ada kasus kematian. Sementara, Indonesia mencatat tingkat kematian tertinggi di ASEAN, mencapai 520 jiwa. Angka ini kontras dengan Malaysia yang dengan jumlah kasus sama di atas 5.000, mencatat jumlah kematian sebanyak 86 jiwa.

Dari data jumlah kasus terkonfirmasi dan korban jiwa akibat pandemi COVID-19 di ASEAN ini, hal penting yang harus digarisbawahi adalah apa yang bisa kita lakukan dalam konteks “aksi bersama” sebagai sebuah komunitas ASEAN? Bagaimanapun juga, pernyataan bersama pemimpin ASEAN akan bermanfaat jika diikuti langkah konkret dan serius mengingat hingga hari ini belum ada kerja sama regional maupun internasional yang betul-betul mampu untuk meringankan beban suatu negara dalam menghadapi agresivitas COVID-19 ini. Semua negara nampaknya kewalahan menghadapi pandemi ini di lingkup domestiknya, sehingga inisiatif regional yang terukur jelas diperlukan.

Ada empat hal yang bisa ditindaklanjuti ASEAN pasca-KTT Khusus ini. Pertama, cepat menyebarnya pandemi ini di seantero wilayah ASEAN di satu sisi merupakan wujud nyata terkoneksinya ASEAN sebagai sebuah kawasan. Tidak hanya konektivitas barang, tetapi juga konektivitas orang melalui lalu lintas kerja, pendidikan, wisata, dan tujuan lainnya. Untuk itu, penting bagi negara-negara ASEAN untuk menekankan transparansi di antara sesama anggota dalam hal pengawasan lalu lintas manusia, terutama diantara negara-negara dengan tingkat mobilitas manusianya tinggi. Misalnya, jika ada warga negara Malaysia di Indonesia terindikasi positif COVID-19, maka yang bersangkutan tidak diijinkan kembali dahulu ke Malaysia, melainkan menjalani pengobatan di Indonesia hingga dinyatakan aman untuk kembali melakukan perjalanan. Sebagaimana diketahui, kasus pertama yang terkonfirmasi di Indonesia, berawal dari kontak pasien dengan rekan asal Malaysia yang diketahui terinfeksi justru setelah tiba kembali di Malaysia.

Bagaimanapun juga, keterhubungan adalah sesuatu yang kini tidak dapat dielakkan oleh negara-negara ASEAN. Kebijakan yang diambil satu negara terkait pembatasan aktivitas manusia dan barang jelas akan berdampak pada negara lain, terutama sektor ekonomi. Negara-negara ASEAN tentu sangat berkepentingan untuk menjaga kawasan ini tidak terimbas besar akibat pelemahan ekonomi dunia, sehingga lalu lintas perdagangan barang harus diatur dan dikonsultasikan di tingkat regional.

Kedua, mekanisme konsultasi yang menjadi salah satu nilai ASEAN juga relevan dalam konteks penanganan COVID-19 di tingkat regional. Artinya, penting bagi ASEAN untuk mengintensifkan pertukaran informasi di antara sesama anggotanya mengenai kebijakan yang akan diambil oleh negaranya, baik itu pemberhentian penerbangan maupun pelarangan kegiatan-kegiatan yang dihadiri massa dalam jumlah banyak. Untuk itu, keterbukaan data di antara negara-negara ASEAN menjadi krusial karena mekanisme konsultasi tidak akan berjalan efektif tanpa didukung data yang valid dan terukur.

Ketiga, Singapura dan Vietnam adalah dua negara ASEAN yang terbukti sukses melakukan mitigasi sehingga berhasil menekan jumlah kasus di negaranya. Singapura dengan program tes secara masif dan penelusuran kontak secara ekstensif, sementara Vietnam dengan pendekatan berbasis komunitas adalah dua pelajaran penting yang bisa dibagi dalam lingkup ASEAN. Selain itu, keduanya juga telah berhasil mengembangkan secara lokal peralatan uji COVID-19 (The Jakarta Post, 8 April 2020). Meskipun memang harus disesuaikan dengan kondisi virus di masing-masing negara, namun mengingat pentingnya pengujian ekstensif untuk deteksi awal penyebaran virus korona, kedua negara harus mendukung anggota ASEAN lainnya untuk mengembangkan test kits dengan memberdayakan industri dalam negeri guna mengantisipasi pasokan impor yang terbatas. Untuk negara-negara dengan jumlah penduduk besar dan tersebar seperti Indonesia, screening secara masif, serentak, dan segera jelas menjadi kebutuhan mendesak hari ini, sementara dihadapkan pada kelangkaan peralatan yang ada di pasar dunia.

Keempat, kita memang menyambut baik munculnya inisiatif-inisiatif baru dari KTT dan KTT APT ini, diantaranya mengenai pembentukan ASEAN Covid-19 Response Fund dan ASEAN Center for Infectious Diseases. Namun belajar dari pengalaman ASEAN selama ini, inisiatif pembentukan badan baru seperti ini seringkali tidak menjawab persoalan substansial di level negara anggota. Efektivitasnya jelas akan sangat bergantung pada soal dana dan kemauan masing-masing negara anggota. Bagaimanapun juga, ada faktor ekonomi-politik yang membentuk hubungan negara dan masyarakat di negara anggota yang seringkali menjadi tantangan badan multilateral dalam mengelola ancaman keamanan nontradisional di kawasan seperti ini (Hameiri dan Jones, 2015).

Pada akhirnya, menjadi relevan dalam situasi krisis seperti ini memang menjadi batu ujian tersendiri bagi ASEAN. Apalagi melihat data bahwa seluruh negara ASEAN hampir dapat dipastikan terpapar dengan wabah global ini, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda. Namun lagi-lagi, ASEAN harus mampu menunjukkan kesatuannya sebagai sebuah komunitas sharing and caring. ASEAN harus mampu membuktikan solidaritas regional dapat diwujudkan dengan memberi prioritas pada negara-negara di kawasan untuk bangkit bersama.

Referensi:

Hameiri, Shahar, & Jones, Lee (2015), Governing Borderless Threats: Non-Traditional Security and the Politics of State Transformation, Cambridge: Cambridge University Press.

The Jakarta Post, “ASEAN Catch up with Covid-19 Pandemic”, 8 April 2020.

Populer