Monday, March 20, 2023

Dampak Ketegangan AS-Tiongkok terhadap Penanganan COVID-19

Wabah COVID-19 pertama kali dideteksi di kota Wuhan provinsi Hubei, Tiongkok pada Desember 2019. Persebaran wabah ini kemudian ditetapkan  sebagai pandemi oleh World Health Organization pada 11 Maret 2020. Hingga 15 April 2020, lebih dari 2.000.000 kasus positif COVID-19 telah dilaporkan di lebih dari 210 negara dan teritori. Data dari WHO menyebutkan pandemi ini juga telah mengakibatkan lebih dari 120.000 kematian, dengan angka kesembuhan tercatat lebih dari 400.000 jiwa.

Pandemi ini telah menyebabkan gangguan sosial-ekonomi global, penundaan atau pembatalan acara olahraga dan budaya, serta kekhawatiran luas tentang kekurangan persediaan barang yang mendorong pembelian tidak terkontrol. Banyak konspirasi mengenai virus ini yang menyebar secara daring dan menyebabkan ketakutan dan peningkatan perilaku rasis terhadap orang Tiongkok, Asia Tenggara, maupun wilayah Asia Timur lainnya.

Sebelum COVID-19 merebak menjadi pandemi, secara umum hubungan antarnegara di dunia pada level bilateral, multilateral, dan internasional berlangsung normal dan relatif harmonis baik di bidang ekonomi, politik, keamanan, maupun budaya, terkecuali hubungan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Sepanjang sejarah modern, hubungan antara AS dan Tiongkok memang selalu terombang-ambing antara kerja sama dan persaingan.

Persaingan AS dan Tiongkok memuncak pada tahun 2018 dan 2019 dengan adanya “adu kekuatan” dan perebutan hegemoni di wilayah Pasifik Barat. Untuk pertama kalinya dalam satu abad ini, Amerika  Serikat di bawah Presiden Trump bertekad untuk melakukan pendekatan yang lebih agresif dan berusaha menanam pengaruh besar di dalam dan di sekitar wilayah negara-negara tetangga Tiongkok. Untuk memahami akar dan lintasan kebijakan Pemerintahan Trump terhadap Tiongkok, serta dilema yang dihadapinya, kita harus melihat evolusi hubungan bilateral kedua negara. Di samping itu, upaya Tiongkok untuk mendominasi perairan yang berdekatan dengan wilayah Freedom of Navigation serta sekutu AS, yaitu Taiwan dan Filipina, menandai fase baru dan berbahaya dalam evolusi tatanan Pasifik Barat.

 

Hubungan Bilateral AS-Tiongkok di bawah Trump-Xi Jinping

Ketegangan antara AS dan Tiongkok secara luas dipicu oleh aksi Tiongkok yang memperluas pengawasannya atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) dalam beberapa tahun terakhir, dengan membangun pangkalan militer dan landasan udara di pulau-pulau kecil dan pulau karang. Pada Oktober 2018, ketika AS mengadakan latihan operasi militer kebebasan bernavigasi dengan menggunakan kapal perusak milik Angkatan Laut AS, The USS Decatur, di kepulauan Spratly yang disengketakan di LCS, kapal perang Tiongkok secara agresif berlayar dalam jarak 40 meter dari kapal perusak milik AS tersebut. Kementerian Pertahanan Tiongkok mengatakan bahwa sebuah kapal Angkatan Laut miliknya telah dikirim untuk mengusir kapal AS. Pihaknya dengan tegas menentang operasi militer AS yang dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Beijing. Ini menandai “pertempuran laut di abad modern” dimana kedua negara adidaya itu nyaris bersinggungan (The Guardian, 02 Oktober 2018). AS dan sekutunya kemudian menanggapi ekploitasi Tiongkok di LCS dengan  melakukan latihan-latihan navigasi di dekat klaim Tiongkok  yang disengketakan untuk memastikan Tiongkok tidak memblokir lalu lintas laut dan udara. Akan tetapi, Tiongkok menentang latihan ini dan berpendapat bahwa AS menantang kedaulatannya pada apa yang dianggapnya sebagai ”blue national soil” (R.J. Heydarian, 2020).

Tiongkok juga semakin agresif setelah Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa penggabungan Taiwan ke Tiongkok adalah “tidak terhindarkan“. Pada April 2019, Tiongkok melanggar kedaulatan dengan melakukan manuver udara melintasi garis tengah 43 mil selatan Taiwan selama 12 menit. Tercatat, manuver udara Tiongkok ke Taiwan  terakhir kali dilakukan tahun 1999. Menanggapi hal itu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang memiliki kecenderungan pro-kemerdekaan menyerukan “pengusiran paksa” pesawat perang Tiongkok (Asia Times, April 2020).

Ambisi AS juga semakin gencar dengan mengerahkan kapal perusak berpeluru kendali USS McCampbelland, USSNS Walter S. Diehlin, USS Stethemdestroyer, amunisi dan kapal kargo USNS Cesar Chaves melalui jalur air yang sama untuk transit demi meningkatkan kemampuan pertahanan Taiwan. AS melalui Selat Taiwan selebar 110 mil dengan pemotong Coast Guard yang tercanggih dan terbesar pada 25 Maret 2019. Pemerintahan Trump juga memberikan otorisasi penjualan senjata ke Taiwan sebesar 1,3 miliar dollar AS. Meningkatnya bantuan pertahanan ke Taipei merupakan tantangan langsung bagi Tiongkok. Pada Maret 2019, AS juga mengirim dua pasang pembom berkekuatan nuklir untuk menantang  Tiongkok yang mengklaim secara berlebihan di LCS.

Tidak seperti para pendahulunya, pemerintahan Trump semakin kuat menantang Tiongkok. Hal ini merupakan perubahan besar dalam kebijakan AS yang membawa hubungan AS-Tiongkok menuju fase baru. Ketegangan di antara keduanya bahkan berpotensi mengubah gesekan kecil menjadi konflik eksplosif.

 

Pandemi COVID-19 dan Ketegangan AS-Tiongkok

Perhatian negara-negara di dunia saat ini pada dasarnya tercurah pada penanganan pandemi COVID-19 di negaranya masing-masing. Tidak peduli negara maju atau berkembang, kaya atau miskin, semua nampak kewalahan menghadapi agresifnya penyebaran virus ini. Pandemi yang melanda hampir seluruh belahan dunia ini juga tidak terelakkan oleh AS, yang kini bahkan mencatat jumlah korban tertinggi di dunia. Di pihak Tiongkok sendiri, meskipun saat ini sudah tergolong mampu menangani pandemi, juga belum dapat dikatakan bersih seluruhnya. Namun demikian, dalam konteks AS dan Tiongkok, terdapat perbedaan kondisi dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Sejak virus ini merebak Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, Trump cenderung menyepelekannya. Lambannya sikap pemerintahan Donald Trump menghadapi COVID-19 bukan hanya tergambar dari kebijakan-kebijakan penanganan yang mereka keluarkan, namun juga dampaknya yang meluas hingga pada kesehatan personel militer AS. Akibatnya, AS menjadi negara dengan jumlah kasus terpapar pandemi COVID-19 tertinggi di dunia, sebanyak 819.175 orang (WHO, 22 April 2020). Kedatangan dua kapal rumah sakit Angkatan Laut AS, The USNS Comfort dan USNS Mercy ke New York dan Los Angeles  memberikan gambaran dramatis tentang perubahan peran militer AS selama pandemi ini. Lebih jauh, pandemi COVID-19 ini turut mengganggu kerja sama keamanan AS dengan sekutunya. Menurut Ellen Laipson, pandemi ini juga memengaruhi peran kunci militer AS dalam mempertahankan kerja sama keamanan dengan sekutu dan mitranya.

Berbeda dengan AS, Tiongkok sebagai negara pertama ditemukannya virus COVID-19 dengan jumlah kasus terinfeksi mencapai 82.788 kasus hingga 22 April 2020, kini dianggap berhasil menekan penyebaran COVID-19. Otoritas Tiongkok menyebut sudah tidak ditemukan kasus infeksi lokal baru, kecuali kasus pendatang dari negara lain. Bahkan, saat ini Kota Wuhan sebagai pusat episentrum sudah dibuka dari penutupan (lockdown) dan dalam waktu dekat Provinsi Hubei akan menerapkan hal yang sama. Akan tetapi, Heydarian menyebutkan bahwa Tiongkok tampaknya memanfaatkan kesempatan saat negara-negara lain termasuk AS tengah berjibaku melawan virus COVID-19 untuk memperkuat militer di LCS. Disebutkan bahwa Tiongkok menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di  perairan Pulau Paracel pada awal bulan April (Asia Times, 9 April 2020).

COVID-19 adalah ancaman keamanan dunia saat ini. Di satu sisi, munculnya pandemi COVID-19 ini nampaknya mengubah konstelasi perseteruan AS dan Tiongkok. Semua kegiatan militer di LCS dan Pasifik Barat mendadak vakum. Namun di sisi lain, semangat konfrontasional masih sulit ditinggalkan. Presiden Trump, misalnya menghentikan pendanaan kepada World Health Organization dan menuding badan kesehatan dunia ini dianggap “sangat China-centris” (BBC, 9 April 2020). Semangat kerja sama yang diperlukan dan seharusnya tumbuh dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini, sulit untuk dicapai jika negara-negara, terutama AS dan Tiongkok, masih memainkan politik konfrontasional satu sama lain. Apalagi di tengah kebutuhan mendesak untuk menemukan vaksin COVID-19 bagi kepentingan global, kepemimpinan AS maupun Tiongkok yang tidak arogan dan fokus pada kerja sama sudah sepantasnya diutamakan. (Ratna Shofi Inayati)

 

Referensi:

 “China leverages COVID-19 crisis in South China Sea”, Asia Times, 9 April 2020, https://asiatimes.com/2020/04/chinas-COVID-19-imperialism-spreads-in-south-china-sea/

R. J. Heydarian, The Indo-Pacific: Trump, China, and the New Struggle for Global Mastery,  (Singapore: Spinger Nature, 2020)

WHO, Rolling updates on coronavirus disease (COVID-19), April 22, 2020,  

Ellen Laipson, “How COVID-19 Is Impairing U.S. Security Cooperation Overseas,” World Politics Review, 9 April  2020, https://www.worldpoliticsreview.com/articles/28668/how-COVID-19-is-impairing-u-s-security-cooperation-overseas.

BBC Indonesia, “Virus corona: Trump tuduh WHO bersikap China-sentris, Dirjen WHO: ‘jangan politisasi virus ini’”, 9 April 2020, <https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52225308>

Populer