Monday, March 20, 2023

Dampak Penutupan Lintas Batas Tradisional di Saat Pandemi COVID-19

Saat tagar (hashtag) #workfromhome, #stayathome atau #dirumahsaja akibat COVID-19 mulai mendunia, titik terdepan yang kritis diutamakan adalah kantung-kantung perbatasan antarnegara. Saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan di beberapa wilayah, kawasan dan pintu-pintu masuk seperti bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas negara (PLBN) memegang peran penting memutus rantai pandemi ini. Pemberlakuan PSBB bernaung di bawah Undang Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (pasal 15, 2b). Dalam UU ini disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan PSBB. Itu sebabnya, keamanan dan ketahanan PLBN berada di tangan keduanya.

COVID-19 telah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020. Selanjutnya Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada 31 Maret 2020 (hukumonline.com). Pintu keluar-masuk (exit-entry gate) bagi lintas batas manusia, barang, jasa, dan modal di PLBN menjadi ditutup. Namun, masih dibuka bagi WNI yang datang/pulang dengan melewati serangkaian prosedur pengamanan maupun proses screening. Tindakan ini sesuai kebijakan pemerintah yang mengeluarkan protokol penanganan  COVID-19, khususnya Protokol Pengawasan Perbatasan (PPP), yakni bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas darat negara (PLBDN) (ksp.go.id).

Kalau kita simak dan baca isi Protokol Pengawasan Perbatasan (10 halaman), sebagian besar isinya lebih banyak ditujukan pada pelintas yang harus mengikuti standar of procedure di pintu bandara, pelabuhan, pos lintas batas negara yang tidak singkat. Dalam penerapannya diharapkan semua data menyangkut petugas, jumlah pelintas masuk, termasuk infrastruktur peralatan medis beserta turunannya, dan mereka yang suspect dapat tercatat jelas. Kesiapan seperti ini tidak mengkhawatirkan selama semuanya dilakukan sesuai prosedur dan ketetapannya. Meski dalam protokol tidak merinci lebih jauh untuk PLBN, namun penerapan standard of procedure PLBN diharapkan dapat mengikuti yang sudah  ditetapkan di bandara maupun pelabuhan. Kesiapan PLBN di Entikong, Kalimantan Barat, misalnya, sejak akhir Januari sudah mempersiapkan dan melakukan koordinasi bersama antara petugas kantor Kesehatan Pelabuhan dengan petugas custom, immigration, quarantine (CIQ) dalam mengawasi dan memeriksa ketat Warga Negara Asing (WNA) dari Tiongkok yang melakukan perjalanan ke Kalimantan melalui pintu Entikong ini (indonesia.go.id).

Terhitung hingga Maret 2020 sudah tercatat 6.486 WNI yang kembali dari Malaysia melalui PLBN Entikong. Ini akibat dari kebijakan Malaysia di Sarawak yang lebih dulu menutup pintu perbatasan di Tebedu saat pandemi (Kompas.com, 7/4/2020). Sementara itu,  terjadi juga arus pulang WNI melalui PLBN di Badau, Kalbar sebanyak 740 orang, terhitung sejak 1 Maret hingga 17 Maret 2020 (antaranews.com). Begitupun di pintu masuk Nunukan, Kalimantan Utara yang menjadi terbatas dalam menampung kedatangan 866 TKI dari Tawau, Sabah.  Bagi Indonesia, mereka yang kembali itu berstatus Orang dalam Pemantauan (ODP) lantaran berasal dari daerah yang terpapar COVID-19 (kalbar.antaranews.com)

Sedangkan di PLBN Nusa Tenggara Timur (NTT), juga membatasi arus lintas manusia dari NTT ke Timor Leste dan sebaliknya. Namun akhirnya, 3 PLBN (Motaain, Motamasin, dan Wini) ditutup terhitung mulai 20 April 2020 (antaranews.com). Meski NTT sudah kembali ke jalur hijau lantaran pasien 01 telah dinyatakan sembuh dari COVID-19, namun menurut Kepala Biro dan Protokol Setda Provinsi NTT, Dr. Jelamu Ardu Marius, M.Si mengatakan NTT tetap waspada dengan kondisi Orang Tanpa Gejala (OTG) yang kini cenderung meningkat (antaranews.com).

Sangat miris ketika membaca dan melihat kondisi wilayah perbatasan, khususnya PLBN yang rentan terpapar pandemi ini. Namun kondisi lebih memprihatinkan lagi apabila  kita melihat  lika-liku  jalur lintas tradisional, kerap disebut jalur ilegal atau jalur tikus. Kondisi jalan dan infrastruktur yang minim membuat segalanya serba terbatas. Sebelum lebih jauh mengulas kerentanan masyarakat di jalur batas tradisional ini, penulis ingin sedikit memberi gambaran  bagaimana pola tentang perlintasan orang dan barang di perbatasan.

 

Pola Lintas Pada Perbatasan

Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) menetapkan tiga pola perlintasan yang berlaku di Indonesia, yaitu 1) melintas secara resmi via PLBN; 2) melintas resmi via non-PLBN; 3) melintas tidak resmi (BNPP, 2018). Kategori pertama ditujukan bagi orang/barang yang melintas melalui PLBN dengan sistem CIQS (custom, immigration, quarantine, security). Pola lintas batas negara seperti ini disebut Jalur A.

Kategori kedua termasuk melintas resmi, namun melalui prosedur CIQS yang tidak lengkap serta bangunan PLBN yang sederhana. Tipe lintas seperti ini masuk dalam kategori Jalur B. Sedangkan yang ketiga dikenal dengan lintas batas negara secara tradisional yang termasuk kategori Jalur C, tanpa ketersediaan CIQ dan hanya 1-2 petugas pengamanan perbatasan (PAMTAS) yang memberi ijin terbatas (dengan kartu Pas Lintas Batas atau sekadar menunjukkan KTP) untuk masyarakat  perbatasan yang pergi-pulang untuk urusan kerabat/keluarga maupun pekerjaan berkebun/berladang dan sebagainya..

Dari 3 pola lintas batas negara itu, tipe Jalur A dan Jalur B masih relatif terpantau dan tercatat dengan protokol ketat bagi para pelintas setiap hari di saat pandemi ini. Justru kekhawatiran tinggi terletak pada pola lintas Jalur C. Namun, upaya pencegahan dengan membatasi ketat bahkan menutup semua jalur termasuk Jalur C dikhawatirkan akan berdampak ganda bagi masyarakat perbatasan.

 

Masyarakat Pelintas  Jalur Tradisional

Tipe Jalur C yang merupakan jalur tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat perbatasan desa/kecamatan yang pergi-pulang setiap hari untuk urusan barter barang, membeli bahan pokok, bekerja di perkebunan ataupun ladang negara tetangga. Mereka biasa berangkat pagi dan kembali pulang pada sore hari.

Mereka yang bekerja ladang di negara tetangga sudah terbangun sebelum batas wilayah ditetapkan secara modern oleh negara, bahkan ketika masing-masing dua negara masih di bawah penguasa koloni (NTT di bawah pemerintah Belanda dan Timor Leste di bawah pemerintah Portugal). Sehingga tradisi itu tetap berlangsung hingga kini meski sudah ada batasan modern. Hal ini juga dipertegas oleh Bele Antonius tentang sejarah masyarakat antara NTT dan Timor Leste ketika berdiskusi dengan tim Perbatasan P2P LIPI di DPRD Kupang 2018 (Naskah Penelitian Perbatasan P2P, 2018). Dalam buku yang berjudul Nurani Orang Buna’, Spiritual Capital Dalam Pembangunan, Antonius menceritakan bahwa bekerja di ladang negara tetangga dengan menggiring sejumlah kuda untuk merumput sudah  menjadi gambaran yang jamak dilakukan. Hal menarik pada kalimat “Hewan tidak kenal batas… Hewan milik orang Desa Henes dan Lakmaras, siang merumput di Timor Leste, malam masuk kandang di Indonesia”(Antonius, 2011, 71). Demikian juga sebaliknya.

Di masa pandemi semua jalur tradisional di NTT ditutup (update  terkini menurut narasumber penulis di NTT, 2020), termasuk di pos-pos perbatasan tradisional Turiskain,  Dilumil, Orel, dan lainnya. Dampaknya yang pasti cukup berat bagi masyarakat perbatasan, terutama bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup jika lintas ditutup. Sedangkan masyarakat antarnegara biasa melakukan saling tukar bahan kelontong seperti sabun, gula, rokok, bakmi dari Indonesia, dan kopi, kemiri, bawang dari Timor Leste (narasumber Antonius, 2020). Jika penutupan PLBN (Jalur A dan Jalur B) masih mengijinkan mobilitas kendaraan angkutan bahan pangan dan bahan bakar minyak agar kebutuhan ekonomi tidak mandek, lalu bisa dibayangkan bagaimana masyarakat menyambung kebutuhan dasar jika Jalur C sebagai jalur tradisional ditutup total.

Di kota-kota besar dalam kondisi lockdown masyarakatnya masih bisa memenuhi kebutuhan dasar dari warung-warung atau pasar swalayan kecil/minimarket terdekat, bahkan melalui jasa online. Sebaliknya, masyarakat di perbatasan pedalaman, mereka hidup di lingkungan serba terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan ini, mereka bisa saling menguatkan dengan negara tetangga. Sehingga, jika pembatasan/penutupan lintas batas saat pandemi dilakukan, kondisi mereka kemungkinan akan menjadi lebih buruk. Sebaliknya jika lintas dibuka, risiko terpapar COVID-19 akan semakin tinggi dan memperburuk kehidupan mereka, lantaran keterbatasan fasilitas kesehatan serta lokasi terpencil yang tak mudah dijangkau.

Hal yang sama juga berlaku untuk Jalur C di Kalimantan. Tercatat ada 1.400 jalur tikus/ilegal yang tersebar di Kalimantan Utara (timesindonesia.co.id). Bisa dibayangkan betapa akses lintas yang demikian banyak itu jika harus mendapat pengawasan ketat bahkan ditutup saat pandemi COVID-19. Di Kalimantan Barat, jalur tradisional seperti Guna Banis, Sekayam di Sanggau, misalnya, biasa menjual hasil perkebunan mereka di kawasan Malaysia. Begitu pula jalur tradisional di Kecamatan Badau, Kapuas Hulu Kalbar, dan jalur di daerah Perumbang, Mentari Desa Sebindang dan Seriang Kecamatan Badau menjadi akses tradisional sejak lama antar kedua negara.

Namun, penutupan jalur-jalur ini di tengah pandemi COVID-19 ada sisi positif dan negatifnya. Di satu sisi, penutupan ini bisa menekan menyebarnya wabah virus bagi masyarakat perbatasan termasuk menutup aktivitas ilegal yang marak terjadi di jalur lintas ini. Penting dicatat bahwa jalur-jalur pintas yang ada di Kalbar, misalnya, sudah sarat dengan aksi-aksi ilegal, seperti miras, batu sejenis antimoni, termasuk mobil mewah dan sebagainya. Begitu maraknya aksi ilegal ini, sehingga ada upaya penutupan jalur yang didukung masyarakat lantaran aktivitas ini sering dimainkan oleh mereka yang bukan berasal dari perbatasan (liputan6.com). Namun di lain sisi, bagi masyarakat adat yang masih memiliki hubungan kerabat dengan masyarakat tetangga, penutupan ini membuat terputusnya hubungan, terutama untuk urusan ritual adat dan sebagainya. Selain itu, jalur tradisional yang biasanya dilalui masyarakat yang hendak bekerja sebagai buruh harian ataupun menjual dan membeli kebutuhan pangan menjadi tertahan.

Pemaparan singkat tentang kerentanan masyarakat perbatasan di kawasan Jalur C sebagai perbatasan tradisional bagai ‘pisau bermata dua’. Penutupan lintas tradisional dilakukan demi mencegah dan memutus rantai pandemi COVID-19, namun berdampak pada ketahanan hidup yang lebih berat. Sebaliknya, apabila lintas itu tetap dibuka akan pula mengancam diri mereka terpapar COVID-19 dan akan sulit memutus rantainya. Karena itu, ada beberapa usulan yang diajukan sebagai  salah satu bentuk kepedulian dan sumbangsih pemikiran dari dunia riset:

  1. Protokol Kesehatan Penanganan COVID-19 sebaiknya ditambah klausul mengenai Perbatasan Tradisional. Ini menjadi penting ketika berbicara tentang penanganan di Perbatasan Negara (PLBDN), bandara, pelabuhan, yang secara jelas mekanisme pencegahan dan penanganan pandemi begitu lengkap, namun di sisi lain mekanisme di perbatasan tradisional kurang dicakup dalam Protokol. 
  2. Kawasan di perbatasan tradisional (kecamatan/desa perbatasan) sebaiknya juga menjadi lingkar utama (bukan marginal) dalam pembangunan infrastruktur swakelola dengan sistem padat karya tunai desa (PKTD). Ini sesuai dengan prioritas pertama dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dalam masa pandemi COVID-19. Menurut penulis, pembangunan ini tidak harus mencakup semua jalur lintas tradisional, tapi bisa secara selektif atas lintas mana saja yang bisa diselipkan dalm program PKDT itu. Sedangkan sisanya bisa dilakukan penutupan jalur.
  3. Kawasan di perbatasan tradisional (kecamatan/desa perbatasan) sebaiknya juga menjadi lingkar utama (bukan marginal) dalam prioritas penguatan kesehatan masyarakat melalui penguatan dan penanganan pandemi. Ini sesuai prioritas Kemendes PDTT tentang Dana Desa yang diprioritaskan untuk penanganan pandemi. Tentunya ini diutamakan guna menunjang kebutuhan pangan mereka yang terpencil di tengah pandemi.
  4. Untuk mendukung sistem pengamanan di perbatasan tradisional, perlu penambahan   Pamtas (Petugas Pengaman Perbatasan) yang sedang bersiaga di pos. Rata-rata Pamtas hanya 1 orang yang bertugas di pos lintas, terutama di Dilumil dan Turiskain NTT. Pentingnya daya dukung kehadiran petugas kesehatan juga untuk memberi penyuluhan berkelanjutan tentang standar hidup sehat guna pencegahan pandemi COVID-19 bagi masyarakat.

Di saat pandemi, keterbatasan pemerintah dalam pengadaan SDM, anggaran, alat medis dan pendukungnya bisa dipahami. Namun ada sebuah nafas kehidupan di kawasan perbatasan tradisional yang perlu juga mendapat prioritas. Adalah tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan koordinasi ke bawah untuk sebisa mungkin “menjangkau” mereka dalam keterbatasan dan keterpencilan lokasi. Jika tak tersentuh, masih ada harapan di saat pandemi, yaitu keramahan dan sapaan alam pedalaman semoga masih bisa memberi perlindungan alamiah untuk mereka. Semoga! (Awani Irewati, Peneliti Perbatasan Antar Negara di Puslit Politik LIPI)

 

Referensi

Antonius, Bele (2011). Nurani Orang Buna’, Spiritual  Capital Dalam Pembangunan. Kupang, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif-NTT.

BNPP (Deputy Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara). (2018). “Informasi Umum Tentang Pos Lintas Batas Negara (PLBN)’, penyampaian materi dalam bentuk ppt. Jakarta, 19 April.

BNPP (Deputy Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara). (2018). “Informasi Umum Tentang Pos Lintas Batas Negara (PLBN)’, penyampaian materi dalam bentuk ppt. Jakarta, 19 April.

Irewati, Awani. (2018).”Kerja Sama Subregional Timor Leste-Indonesia-Australia: Dinamika People to People Connectivity” dalam Sandy Nur Ikhfal Raharjo (editor), Kerja Sama Sub Kawasan TIA GT naskah sedang dalam proses editing.

 “Pemerintah Terbitkan Protokol Kesehatan Penanganan COVID-19”, 6 Maret 2020, diakses dari http://ksp.go.id/pemerintah-terbitkan-protokol-kesehatan-penanganan-COVID-19/index.html, pada 29 April 2020

“Penanganan COVID-19, Protokol Pintu Masuk Indonesia (Bandara, Pelabuhan, PLBDN)”, 13Maret 2020, diakses dari https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/protokol-pintu-masuk-wilayah-indonesia-bandara-pelabuhan-plbdn, pada 29 April 2020.

“6.486 WNI Pulang dari Malaysia Lewat Entikong, Semua Negatif COVID-1”, Kompas.com – 07/04/2020, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/07/17594361/6486-wni-pulang-dari-malaysia-lewat-entikong-semua-negatif-COVID-19 pada 29 April 2020

“Ketua PWI Kaltara usulkan perketat perbatasan cegah COVID-19”, 17 Maret 2020, diakses dari https://kalbar.antaranews.com/berita/407570/ketua-pwi-kaltara-usulkan-perketat-perbatasan-cegah-COVID-19 pada 29 April 2020

“Pemerintah Diminta Tutup Jalan Ilegal negara Terkait Corona”, 20 April 2020, https://www.antaranews.com/berita/1381382/pemerintah-diminta-tutup-jalan-ilegal-batas-negara-terkait-corona, diakses 29 April 2020

Nugraheny. Dian Erika. (2020).”6.486 WNI Pulang dari Malaysia Lewat Entikong, Semua Negatif COVID-19 “, 7 April 2020, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/07/17594361/6486-wni-pulang-dari-malaysia-lewat-entikong-semua-negatif-COVID-19. :

“Wiranto: Ada 1.400 Jalur Tikus Ilegal di Wilayah Perbatasan Indonesia”, 28 Januari 2019, diakses dari https://www.timesindonesia.co.id/read/news/198357/wiranto-ada-1400-jalur-tikus-ilegal-di-wilayah-perbatasan-indonesia pada 29 April 2020

“Reaksi Warga Perbatasan Indonesia – Malaysia atas Penutupan Jalan Tikus” (2018), 17 Desember 2018. Diakses dari https://www.liputan6.com/regional/read/3815829/reaksi-warga-perbatasan-indonesia-malaysia-atas-penutupan-jalan-tikus# pada 30 April 20

Undang Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan 

“Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020”, 31 Maret 2020, diakses dari https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5e83feade16df/node/534/keputusan-presiden-nomor-11-tahun-2020 pada 30 April 2020

 

Narasumber:

Dr. Bele Antonius, mantan anggota Komisi DPRD-NTT, diskusi dilakukan melalui media online, 30 April 2020, Pk. 10.46-12.15

Primus Lake, MA, dosen Anthropologi di FISIP Universitas Nusa Cendana, diskusi dilakukan melalui media online, 29 April 2020, Pk. 12.30-13.00  dan 30 April 2020, Pk. 14.53- 15.08

Populer