Monday, March 20, 2023

Memahami Denyut Politik Islamisme di Pakistan

Memahami Denyut Politik Islamisme di Pakistan[i]

Kemarahan Berbuah Empati

Lelaki paruh bayah, berpakaian putih dengan surban di kepalanya, itu berjalan menuju Mesjid Merah (Lal Masjid). Ia tidak sendiri. Ia ditemani oleh lima penjaganya di mana dua diantaranya mengenggam senjata api. Saat masuk ke mesjid, ada sekitar 7-9 orang duduk, mereka menyimak laki-laki paruh baya tersebut berbicara. Di sampingnya duduk seorang anak kecil, berpakaian putih-putih dengan penutup kepala putih, berusia sekitar 8-10 tahun. Anak itu kemudian ditanya oleh lelaki paruh baya tersebut: “Kamu akan menjadi apa setelah besar”? “Saya ingin menjadi mujahid”, ujarnya polos. Lelaki itu tersenyum bangga mendengar jawabannya dan menguatkan, “menjadi Mujahid”. Lelaki itu kemudian bertanya kembali, “apakah kamu ingat khutbah-khutbah yang kami ajarkan?” Anak itu berdiri. Dengan menggerakkan tangan kanannya, ia berbicara dengan tenaga penuh, “Lihatlah pengorbanan yang dilakukan oleh Mesjid Merah. Jika kamu berani masuk ke sini (mesjid), kami akan melakukan jihad/perang. Kamu tidak akan pernah menaklukkan kami. Kamu tidak akan pernah…”.  Lelaki tersebut kemudian menjelaskan, “kami mengajarkan siswa-siswi kami dengan cara yang berbeda dari sekolah ataupun perguruan tinggi umumnya. Kami mengajarkan mereka untuk bekerja keras mendalami agama dan melakukan jihad dengan berperang”.

Narasi di atas merupakan awal pembuka film dokumenter Among Believers (2015), yang disutradarai oleh Hemal Trivedi (India) dan Mohammad Ali Naqvi (Pakistan). Menurut pengakuan Hemal Trivedi, ide film ini diawali oleh kebencian dan kemarahannya terhadap pengeboman yang terjadi di Bombai pada tahun 2008, yang dilakukan oleh orang Pakistan. Pengeboman tersebut berakibat kepada kehilangan teman-teman dekatnya. Peristiwa ini membuatnya menyimpulkan Pakistan secara negatif, baik orang maupun negaranya. Beberapa minggu kemudian ia mempertanyakan kembali kemarahan yang dilakukannya; mengapa ia bisa sebegitu marahnya, sementara ia tidak mengenal lebih jauh apa itu Pakistan dan juga tidak memiliki teman-teman dari Pakistan. Sikap kemarahan ini menurutnya sebagai sesuatu yang tidak adil. Bertolak dari sini, ia kemudian melakukan riset mengenai Pakistan dan lebih mengenal orang-orang Pakistan dengan bertemu dan berkunjung ke Mesjid mereka saat berada di New Jersey, Amerika Serikat. Keingintahuannya mengenai Pakistan menjadi rasa empati yang terdalam saat bertemu dengan Mahir Ali, salah satu jurnalis Pakistan. Ia mengatakan bahwa terlalu simplistik sebenarnya menyalahkan orang-orang Pakistan terlibat dalam terorisme sementara mereka juga adalah bagian dari korban. Apapun interpretasi mengenai Islam yang dianut, mereka selalu menyalahkan orang diluar mereka sebagai orang kafir. Mereka, karena itu, tidak ada perasaan bersalah saat melakukan pembunuhan (Trivedi, 2016).  

Bertolak dari sini, kemarahan Trivedi berbalik menjadi rasa empati. Ia kemudian memahami bahwa Pakistan sedang mengalami perang dari dalam (wars from within) di negaranya, di mana kelompok garis keras yang minoritas itu ingin mengambil alih pemahaman, ruang publik, dan kehidupan sehari-hari Islam mayoritas muslim Pakistan. Kondisi ini membuatnya tergerak untuk melakukan riset film dokumenter. Riset tersebut kemudian mengantarkannya menelisik lebih jauh bagaimana konflik ideologi di Pakistan dengan melihat pendidikan sebagai basis penguatan ideologi Islamisme, dan di sisi lain, pendidikan juga menjadi basis perlawanan sebagai bagian dari perlawanan ideologi Islamisme tersebut. Di sini, Mesjid Merah dan Maulana Abdul Azis, Pimpinan dan pengajar utama, menjadi simpul utama dalam narasi film tersebut.

 

Mengambil Alih Ruang Publik Sosial

Mesjid merah sendiri, salah satu mesjid tertua di Pakistan, didirikan pada tahun 1965, terletak di Islamabad. Disebut demikian, karena tembok dan interior mesjid tersebut berwarna merah. Maulana Muhammad Abdullah adalah Imam pertama dalam mesjid tersebut. Setelah terjadi pembunuhan pada tahun 1998, ia kemudian digantikan oleh anaknya, terutama Maulana Abdul Azis Gazhi, setelah Abdul Rashid ditangkap karena memberikan fatwa kontroversial pada tahun 2005; Militer Pakisan tidak usah dikuburkan secara Islami apabila perang melawan Thaliban. Selama perang melawan Uni Soviet di Afganistan (1979-1989), di mana Amerika Serikat menjadi sekutu, mesjid tersebut memainkan peranan besar dalam merekrut dan proses latihan para Mujahidin. Mesjid tersebut juga menjadi simpul pengetahuan dan juga simbol kekuasaan selama bertahun-tahun terkait dengan patronase yang dibangun, baik itu pemerintah, perdana menteri, dan kebanyakan masyarakat. Perubahan politik global dan internal di Pakistan ternyata mengubah wajah politik dan patronase dalam Mesjid Merah tersebut. Hal ini terlihat dengan kedekatan Mesjid dan Maulana Abdul Azis tersebut dengan Usama Bin Laden dan bersikap oposisi terhadap pemerintah Pakistan.

Kehadiran Mesjid Merah dan kharisma Maulana Abdul Azis sebagai ulama-pemimpin yang memiliki massa yang begitu banyak sehingga bisa membangun sekolah-sekolah hingga pelosok Pakistan ini memiliki latarbelakang peristiwa sosial yang kuat. Di tengah banyaknya penduduk Pakistan, 180 juta orang, lemahnya pemerintahan dan militer dalam menyelesaikan pelbagai persoalan, kurangnya fasilitas dan pelayanan publik (rumah sakit dan pendidikan) membuat kehadirannya tidak cukup kuat memberdayakan, baik pendidikan maupun ekonomi, masyarakat miskin dan kelas bawah. Akibatnya, kelompok garis keras minoritas mengambil alih peran yang seharusnya dimainkan pemerintah. Kondisi ini tercermin dari dua hal. Pertama, kehadiran Talha, 12 tahun, yang mewakili keluarga miskin dari Khasmir. Ayahnya menyekolahkannya ke lembaga pendidikan milik Maulana Abdul Azis dengan harapan ia akan mendapatkan ruang belajar, kamar tidur, dan pendidikan yang baik tanpa mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang diajarkan kepada anaknya. Kedua, kehadiran seorang bapak paruh bayah yang datang kepadanya untuk meminta uang untuk mengobati sakitnya di tengah pembangunan lembaga pendidikan yagn sedang didirikan Maulana Abdul Azis. Lebih jauh, kondisi ini ditegaskan oleh Maulana sendiri, “Pemerintah telah gagal dalam menyelesaikan pelbagai persoalan di negara ini. Pemimpin Republik juga gagal. Ketika semua orang telah gagal, hal itu menciptakan kondisi kekosongan. Di tengah kekosongan tersebut seseorang harus mengisinya” (the military rulers have failed to solve the major problems of the country. The republican leaders have failed. When everyone has failed, it creates a vacuum. Someone has to fill it).

Upaya mengisi kekosongan ini terlihat dengan upaya pemaksaan syariat Islam untuk diterapkan. Akibat pemaksaan ini dan disinyalir lembaga pendidikan Mesjid Merah memiliki keterkaitan dengan gerakan Al-Qaeda, pemerintah Pakistan kemudian menutup mesjid-mesjid yang dianggap radikal. Alih-alih mengubah ideologinya menjadi lebih moderat, justru Mesjid merah dan kelompok massanya, terdiri dari siswa dan siswi yang belajar agama di cabang-cabang lembaga tersebut di pelbagai daerah di pakistan, melakukan perlawanan. Mereka tidak hanya menyerang pemerintahan dan institusinya  secara terbuka melainkan juga memukul siapa saja yang tidak setuju dengan penerapan syariat Islam di Pakistan dan penutupan Mesjid dan lembaga pendidikan tersebut. Akibatnya, bentrok pada Juli 2007 tidak terhindarkan. Aparatus militer mengepung Mesjid Merah tersebut. Akibatnya, ada 150 orang yang meninggal dan 50 anggota Maulana Abdul Azis ditangkap. 

Di sisi lain, kondisi kemiskinan ini membuat orangtua Zarina menyekolahkan anaknya di Madrasah Mesjid Merah, cabang Bunni Behk. Karena sistem pendidikan yang ketat dan dianggap menakutkan membuatnya nekat keluar sekolah tersebut dengan melompati pagar tinggi yang selama ini jadi benteng. Di tengah kondisi sekolah Islamis tersebut, film ini kemudian menunjukkan seorang petani yang tidak mengenyam bangku sekolah tapi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Namun, imajinasi dunia pendidikan untuk anak-anak tidak serupa dengan doktrin yang selama ini diterapkan oleh Mesjid Merah melalui madrasah-madrasahnya. Di sekolah milik Tariq inilah kemudian Zarina bersekolah. Namun, karena adanya ancaman terhadap Tariq terkait dengan lembaga pendidikan yang dikelolanya, akhirnya sekolah itu terpaksa ditutup. Dengan ditutupnya sekolah tersebut berakhir juga cita-cita Zarina untuk mengenyam jenjang pendidikan yang tinggi. Dengan sangat terpaksa, ayahnya, buruh kasar berpenghasilan 50 USD perbulan, memiliki 9 orang anak, terpaksa menerima pinangan dari anak tetangganya. Bagi Ayah Zarina, di tengah kemiskinan yang mereka alami, menikahkan anaknya kemudian menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Meskipun mereka tahu bahwa pernikahan juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang akan dialami oleh anak-anaknya dikemudian hari.

Perlawanan ideologi Islamis ini tidak hanya dilakukan oleh Tariq melainkan oleh Pervez Hoodbhoy, dosen Fisika Nukler sekaligus intelektual publik Pakistan. Dalam pelbagai kesempatan, ia selalu mengecam sistem pendidikan dan tindakan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam yang dilakukan oleh mereka yang berafiliasi dengan Mesjid Merah. Aksi melawan tindakan terorisme secara massif ini menemukan momentumnya, yaitu pasca penyerangan dan penyandaraan staf sekolah dan murid-muridnya di dalam gedung Army Public School yang mengakibatkan ada 145 orang, berusia 10-18 tahun meninggal dan 114 orang cidera pada 16 Desember 2014 yang dilakukan oleh sekelompok pria bersenjata dari Tehrik-i-Taliban Pakistan. Banyak dari masyarakat Pakistan dari pelbagai latarbelakang turun ke jalan mereka melakukan protes terhadap tindakan kekerasan aksi terorisme tersebut dan sikap pemaksaan ideologi yang disodorkan secara keras oleh kelompok minoritas Islamis. Akibat peristiwa tersebut, Maulana Azis menjadi tahanan rumah pada pada 19 Januari 2015.

 

Konteks Indonesia

Bagi saya menonton film dokumenter ini membuka realitas sosial selama ini yang jarang dipotret oleh pelbagai media massa internasional bahwa di tengah situasi aksi terorisme yang terjadi di Pakistan atas nama Thaliban, Al-Qaeda dan ISIS perlawanan terhadap aksi tersebut akan selalu ada. Perlawanan-perlawanan inilah yang jarang dipotret dalam dunia internasional. Di sisi lain, keberanian Hemal Trivedi, Mohammad Ali Naqvi, dan para kru di balik layar lainnya dalam proses pembuatan film tersebut dengan masuk ke jantung persoalan dengan mewawancarai tokoh utama yang memiliki pengaruh besar terhadap kelompok Islamis di Pakistan perlu diacungkan jempol. Selain itu, mereka tidak hanya kuat dalam menggambarkan, melainkan secara filmis membuat para penonton, khususnya saya turut, masuk ke dalam narasi cerita yang dibangun. Apalagi, mengingat posisi Hemal Trivedi sebagai orang India, tentu memiliki ingatan kolektif yang berbeda bagi sebagian besar orang-orang Pakistan setelah negara tersebut melepaskan diri dari India. 

Dalam konteks Indonesia ada persamaan sekaligus perbedaan dengan Pakistan terkait dengan aksi terorisme sekelompok minoritas yang mengatasnamakan Islam. Pertama, kekosongan kekuasaan dan jaringan. Pasca rejim Orde Baru, Indonesia mengalami transisi demokrasi, di mana sebelumnya kekuasaan pemerintah di bawah Suharto begitu kuat. Di tengah transisi dan kekosongan kekuasaan tersebut, bermunculan ideologi Islamis yang berdampak terhadap proses Islamisasi yang muncul ke ruang publik Indonesia. Akibatnya, tindakan dan aksi kekerasan atas nama Islam selalu muncul dan kerapkali tidak bisa dicegah oleh aparatus negara. Aksi-aksi terorisme atas nama Islam melalui bom bunuh diri kepada tempat-tempat yang dianggap menghina Islam juga bermunculan. Meskipun secara geografis Indonesia dan Pakistan tidaklah dekat, namun secara ideologis kelompok-kelompok radikal dan terorisme ini memiliki ketersambungan dengan gerakan seperti Al-Qaedah dan ISIS.

Kedua, kehadiran organisasi Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi massa Islam serta sipil lainnya. Meskipun di Pakistan memiliki organisasi non pemerintah yang dapat membantu peran pemerintah melakukan pendidikan dan kesehatan, tapi jumlah mereka tidaklah banyak. Di sisi lain, tampaknya, organisasi massa Islam yang berwatak moderat untuk membendung gerakan Islamis yang sangat massif dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk memberdayakan masyarakat tidaklah banyak, atau bahkan mungkin tidak ada. Sementara itu, meskipun ada aksi dan tindakan terorisme serta sikap Islamisme dari beberapa kelompok minoritas Islam di Indonesia, tetapi pengaruh mereka belum begitu luas. Ini karena, Muhammadiyah dan NU memainkan peranan yang cukup maksimal, menguatkan kerja-kerja pemerintah melalui amal usaha yang mereka dirikan, baik itu sekolah, madrasah, rumah sakit, rumah zakat, dan organisasi otonom yang berada di bawahnya, untuk memberikan warna Muslim Indonesia berwajah lebih toleran dan moderat. Meskipun diakui, seperti Pakistan, dengan jumlah populasi masyarakat Indonesia yang begitu banyak dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, upaya untuk mengambil alih peran-peran pemerintah dan upaya menggerus kontribusi ormas Islam tersebut masih juga ada.

Meskipun sudah ada dua organisasi Islam tersebut, kekhawatiran saya tetap muncul seiring dengan kehadiran dua demonstrasi belakangan ini yang memaksa pemerintah Indonesia untuk menangkap Ahok karena dianggap melakukan penistaan agama. Sementara itu, kasusnya sendiri sedang berada dalam penanganan kepolisian dan Ahok sudah menjadi status tersangka. Ucapan Ahok sendiri muncul dalam konteks Pilkada Jakarta. Di sini, ada dua penyebab kekhawatiran saya. Pertama, aksi politik populisme tersebut dalam momen pilkada Jakarta akhir-akhir ini bisa menciderai demokrasi dan prosedur ikutan yang dimilikinya melalui tekanan massa dengan jumlah besar, yakni institusi hukum untuk mendapatkan keadilan. Meskipun, harus diakui, institusi hukum di Indonesia belum berpihak lebih jauh kepada asas keadilan, tetapi memperkuat institusi hukum dengan terus mengawasinya dan menggunakannya menjadi media belajar terus-menerus yang harus dipertahankan. Kedua, mulai terbelahnya otoritas keagamaan yang dimiliki oleh dua organisasi besar tersebut. Orang justru lebih mendengarkan tokoh-tokoh agama yang justru muncul pasca rejim Orde Baru berkuasa;  lahir dari masyarakat urban, kerapkali tidak memiliki akar keagamaan yang kuat dengan silsilah proses belajar Islam dan memiliki tautan dengan pondok pesantren sebagai lumbung pengetahuan berislam. Ketiga, kehadiran media sosial dengan berita hoax yang muncul sehingga memungkinkannya terjadinya percepatan kebencian meskipun didasari oleh fakta yang lemah. Berita-berita hoax inilah yang membangun imajinasi ketakutan dan perasaan termarginalkan di tengah posisi Ahok sebagai non Muslim dan Tionghoa. Stigma Tionghoa dan stereotif yang muncul sendiri adalah warisan produksi rejim Orde Baru yang bertahan kuat hingga saat ini.

Di sini, peranan pemerintah Indonesia untuk tetap menjaga kebhinekaan dan mempertahankan demokrasi, dibangun dengan susah payah, dengan memegang konstitusi menjadi jawaban penting di tengah keresahan tersebut.  (Wahyudi Akmaliah)



[i] Tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi dan nonton bareng film “Among the Believers” di auditorium Erasmus Huis, sabtu 3 Desember 2016. Acara ini adalah kerjasama Maarif Institute dan In-Docs, yang diddukung sejumlah komunitaas film dokumenter dengan mengangkat tema, “ScreenDocs Expanded”, 1-4 Desember 2016, Jakarta. 

Populer