Tahun ini menandai tujuh dekade hubungan Indonesia-Tiongkok. Peringatan ini harus dimaknai secara khusus karena berlangsung di tengah pandemi COVID-19. Kedua negara terpapar secara signifikan akibat virus ini. Solidaritas dan kerja sama kedua negara dalam menghadapi pandemi ini tentu menjadi alat ukur yang penting dalam melihat kematangan hubungan yang sudah berlangsung 70 tahun.
Hingga hari ini, Tiongkok, tepatnya Wuhan, Provinsi Hubei, diyakini sebagai pusat penyebaran pertama Corona Virus Disease (COVID)-19. Kasus pneumonia yang terdeteksi di Wuhan pertama kali dilaporkan ke WHO pada 31 Desember 2019. Tiongkok mengidentifikasi virus tersebut sebagai virus corona baru pada 7 Januari 2020, disusul munculnya kasus kematian pertama akibat virus ini pada 11 Januari 2020. Tepat pada 23 Januari 2020, pemerintah Tiongkok menutup pintu masuk dan keluar Wuhan (lockdown) dan baru berakhir pada 8 April 2020. Upaya ini boleh dikatakan berhasil. Kini pemerintah Tiongkok mengakui tidak ada kasus penularan domestik yang baru muncul, kecuali imported cases atau yang dibawa dari luar negeri. Sejak pertama dilaporkan hingga 1 Mei 2020, jumlah total kasus COVID-19 di Tiongkok sebesar 82.874 dengan jumlah kematian sebanyak 4.633 jiwa. Angka ini jauh di bawah Amerika Serikat yang dengan periode sama telah menembus angka 1.097.032 kasus dan jumlah korban meninggal sebanyak 63.905 jiwa.
Sebagai respons terhadap penyebaran COVID-19 di Tiongkok, pemerintah Indonesia segera mengambil sejumlah langkah antisipatif. Indonesia mengirimkan bantuan masker dan alat kesehatan lainnya kepada Tiongkok. Sebagian bantuan dikirimkan melalui pesawat Garuda Indonesia ke Beijing dan sebagian dibawa langsung dengan pesawat Batik Air saat menjemput warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan pada 1 Februari 2020. Terhitung 5 Februari 2020, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menutup sementara akses penerbangan dan perdagangan dari dan ke Tiongkok. Keputusan ini merupakan hasil rapat terbatas yang dilangsungkan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah menteri pada 2 Februari 2020 dalam rangka membahas evakuasi 238 WNI dari Wuhan. Keputusan lain yang ditetapkan pada rapat terbatas itu adalah bahwa semua pendatang yang tiba dari Tiongkok dan sudah berada di sana selama 14 hari untuk sementara tidak diizinkan masuk dan melakukan transit di Indonesia; Pemerintah mencabut untuk sementara bebas visa dan visa on arrival untuk warga negara Tiongkok; kebijakan visa bebas kunjungan dan visa on arrival untuk warga negara RRT yang bertempat tinggal di Tiongkok untuk sementara dihentikan; dan pemerintah meminta warga negara Indonesia untuk sementara tidak melakukan perjalanan ke Tiongkok.[1]
Tentu pembatasan penerbangan dan perdagangan tersebut tidak serta merta diterima oleh Tiongkok. Duta Besar RRT untuk Indonesia, Xiao Qian, dalam pernyataannya secara eksplisit menyayangkan langkah pembatasan akses dari dan menuju Tiongkok dengan melihat dampak yang ditimbulkannya pada perekonomian dan pariwisata.[2] Sebagaimana diketahui, beberapa wilayah di Tiongkok mempunyai akses penerbangan langsung dari dan ke sejumlah wilayah di tanah air. Ada beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai jalur penerbangan langsung ke Tiongkok, seperti Jakarta, Manado, Surabaya, Denpasar, dan lainnya.
Satu bulan kemudian, tepatnya 2 Maret 2020 Indonesia mengumumkan kasus COVID-19 pertamanya. Sejak itu angka kasusnya terus bertambah dan nyaris tidak ada satu provinsi pun yang terbebas dari virus ini. Masifnya penyebaran wabah ini membuat Indonesia kewalahan, terutama dalam memenuhi kebutuhan alat kesehatan dan perlengkapan bagi tenaga medis. Salah satu negara yang antusias memberikan bantuan kepada Indonesia adalah Tiongkok. Pada 27 Maret 2020, atas kerja sama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bea Cukai, Garuda Indonesia, dan Angkasa Pura 2, Indonesia mendatangkan 40 ton bantuan alat kesehatan dari Pudong, Shanghai. Pada 2 April 2020, Presiden Xi Jinping melalui sambungan telepon menyatakan keprihatinannya akan penyebaran COVID-19 yang semakin meluas di Indonesia sekaligus kesiapannya memberikan bantuan dan dukungan kepada Indonesia menghadapi pandemi ini.
Namun demikian, kerja sama antara kedua negara dalam penanganan pandemi COVID-19 ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan relasi Indonesia-Tiongkok selama tujuh dekade. Pertama, isu pandemi COVID-19 terjadi di tengah persepsi publik Indonesia yang belum berubah terkait Tiongkok, yaitu masih memandang dengan penuh kecurigaan. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diluncurkan bulan Januari 2020 menunjukkan bahwa Tiongkok menempati peringkat pertama sebagai negara paling berpengaruh dengan persentase sebesar 39%. Sayangnya, penilaian publik Indonesia ini menunjukkan tren yang semakin negatif terhadap Tiongkok, yaitu 36% responden menilai Tiongkok membawa pengaruh merugikan bagi Indonesia.[3] Hal ini berdampak pada masih lakunya penggunaan isu terkait “Tiongkok/China” di masyarakat dalam wujud informasi yang meresahkan/berita bohong (hoaks). Tren menunjukkan isu ini tidak hanya dihembuskan dalam momen-momen elektoral, tapi kerap dilekatkan pada kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang memang sejak awal kepemimpinannya tahun 2014 mempunyai hubungan yang relatif meningkat dengan Tiongkok. Tanggal 11 Februari 2020 misalnya, beredar di media sosial Facebook yang menyebutkan ada Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok ditemukan meninggal dunia karena virus corona di pembangunan proyek Apartemen Meikarta, Cikarang Selatan.[4] Selain itu, Laporan Kementerian Komunikasi dan Informasi mengenai “Temuan Hoaks Terkait Virus Corona” selama periode 20-24 Maret 2020 menemukan masih banyak disinformasi yang dikaitkan dengan Tiongkok/China, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
20 Maret 2020 | [DISINFORMASI] Jokowi: “Corona Mudah Diatasi Jika Saya Jadi Presiden CHINA, Camkan Itu” |
21 Maret 2020 | [DISINFORMASI] Video “Sholat Jum’at an di China menjadi lautan manusia, orang Islam di Wuhan tidak satu pun yang kena virus corona”. |
21 Maret 2020 | [DISINFORMASI] Foto Perempuan Uighur yang Doanya Memicu Azab Virus Corona. |
21 Maret 2020 | [HOAKS] Anak Usaha BUMN Ekspor Masker ke China lalu Bekasnya Diimpor Balik Setelah Rekondisi oleh China. |
21 Maret 2020 | [DISINFORMASI] Video Ini Bukti Tentara AS Sebar Korona di Bus Wuhan. |
22 Maret 2020 | [DISINFORMASI] Gara-Gara Virus Corona, Buruh Asal China Digaji 200 Juta Per Tahun |
23 Maret 2020 | [DISINFORMASI] “To: Front Pembela Islam” pada Foto Paket Bantuan COVID-19 Tiongkok |
Hal ini tentu harus diantisipasi dengan tegas mengingat sentimen rasis yang terus berkembang di berbagai negara seiring merebaknya wabah COVID-19 ini. Sentimen anti-China ini telah muncul di Australia, Jerman, Amerika Serikat, Prancis, Kanada, Italia, dan sejumlah negara lainnya. Sentimen yang terjadi pada level masyarakat ini sebenarnya turut dipicu oleh pernyataan pada level pejabat negara. Presiden Trump melalui akun Twitter-nya pada 17 Maret 2020 menyebut virus ini sebagai Chinese Virus, sebagian lagi menyebutnya sebagai Wuhan virus. Penamaan virus yang diasosiasikan ke satu negara memang sangat berpotensi melahirkan stigmatisasi yang berujung sikap rasis. Meskipun sentimen rasis demikian tidak terjadi di Indonesia, namun mengingat pola relasi warga Tionghoa dan non-Tionghoa yang cenderung masih diterjemahkan atas dasar apa yang tampak saja, hal ini bisa berdampak pada warga Tionghoa Indonesia. Untuk itu, perlu kesadaran dan kehati-hatian semua pihak, termasuk media terhadap potensi masalah ini.
Kedua, kasus COVID-19 terjadi tidak lama setelah insiden di Laut Natuna. Pada Desember 2019, kapal ikan Tiongkok bersama kapal coast guard-nya memasuki perairan utara Laut Natuna. Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi pada 3 Januari 2020, seusai rapat tingkat menteri di kantor Kemenko Polhukam, mengeluarkan empat poin sikap Indonesia soal klaim Tiongkok di Laut Natuna. Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kedua, wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh Hukum Internasional, yaitu melalui UNCLOS 1982. Ketiga, Tiongkok merupakan salah satu anggota dari UNCLOS 1982. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982. Keempat, Indonesia tidak pernah akan mengakui nine-dash line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982. Presiden Joko Widodo kemudian mengunjungi Natuna pada 8 Januari 2020.
Tidak dapat dipastikan apakah pemilihan Natuna sebagai tempat transit 245 WNI yang dievakuasi dari Wuhan ada kaitannya dengan persoalan tersebut. Penetapan Natuna sebagai tempat karantina selama 14 hari bagi WNI yang dievakuasi nyatanya diputuskan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa komunikasi terlebih dahulu dengan Bupati Natuna. Itu sebabnya, hal ini sempat menimbulkan kericuhan di masyarakat dengan melakukan protes ke kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Natuna menolak proses karantina dilakukan di wilayah mereka. Terlepas dari persoalan ini, aksi ulangan kapal ikan Tiongkok di Laut Natuna Utara untuk kesekian kalinya menunjukkan sikapnya yang arogan terhadap negara mitranya. Selain itu, dalam kondisi pandemi yang belum menemukan ujungnya ini, penting bagi Tiongkok untuk menahan diri tidak menunjukkan upaya-upaya provokatif di Laut China Selatan. Aksi agresif Tiongkok terhadap kapal nelayan Vietnam dan kehadiran kapal Tiongkok di ZEE Malaysia pada bulan April 2020, tidak seharusnya terjadi di tengah pandemi global ini.
Ketiga, pandemi COVID-19 terjadi di tengah hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok yang relatif meningkat, terutama sektor perdagangan dan investasi. Sejak normalisasi hubungan tahun 1990, faktor ekonomi mendominasi relasi kedua negara. Faktor ini tidak dapat dipungkiri terus menjadi pendorong utama dalam peningkatan hubungan antara kedua negara hingga saat ini. Indonesia sangat berkepentingan untuk mendorong hubungannya dengan Tiongkok pada bidang ekonomi. Meskipun hingga 2019 Indonesia masih mencatatkan defisit perdagangan terhadap Tiongkok, pada sektor investasi, Tiongkok pada periode yang sama merupakan sumber investasi terbesar kedua bagi Indonesia. Di bawah pemerintahan Joko Widodo, kebutuhan pendanaan yang sangat besar akan program-program infrastruktur yang sedang dijalankan membuat Tiongkok menjadi mitra utama bagi Indonesia, terutama di sektor investasi.
Namun, pandemi ini tentu menjadi batu ujian bagi hubungan ekonomi keduanya. Sebagaimana yang disebut sebelumnya, penutupan akses penerbangan dan pengiriman barang dari dan ke Tiongkok, menimbulkan dampak ekonomi yang tidak kecil. Kelangkaan sejumlah bahan konsumsi, bahkan seperti buah-buahan impor, merupakan dampak nyata dari kebijakan ini. Belum lagi nasib sejumlah proyek investasi yang masih didominasi Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok, termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang tentu terdampak akibat kebijakan pembatasan akses penerbangan ini. Isu TKA asal Tiongkok ini cukup sensitif dan terbukti rentan dipolitisasi. Tak heran, kedatangan 49 TKA asal Tiongkok di Kendari, Sulawesi Tenggara di tengah pandemi COVID-19 pada bulan Maret 2020 sempat menimbulkan kegaduhan. TKA yang disebut akan bekerja di pabrik smelter PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) Morosi, Kabupaten Konawe ini, tetap diijinkan masuk meskipun sudah ada pembatasan demikian.[5]
Secara keseluruhan, tiga isu dalam relasi Indonesia-Tiongkok hari ini, yaitu persepsi publik terhadap Tiongkok, termasuk isu hoax dan peluang munculnya sentimen rasis; Laut Natuna dan sengketa di Laut China Selatan; serta hubungan ekonomi termasuk isu TKA asal Tiongkok, akan terus memengaruhi naik-turunnya dinamika hubungan kedua negara. Pengelolaan terhadap tiga isu ini akan menentukan kematangan relasi kedua negara dalam dekade-dekade mendatang. (Lidya Christin Sinaga)
[1] https://nasional.kompas.com/read/2020/02/02/16275631/pemerintah-indonesia-resmi-tutup-penerbangan-dari-dan-ke-china?page=1
[2] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4888932/china-bete-ri-tutup-penerbangan-luhut-kita-evaluasi-tiap-2-hari
[3] https://katadata.co.id/berita/2020/01/12/survei-lsi-tiongkok-dianggap-negara-paling-berpengaruh-di-ri-dan-asia
[4] https://kominfo.go.id/content/detail/24351/siaran-pers-no22hmkominfo022020-tentang-hingga-12-februari-2020-kominfo-identifikasi-86-hoaks-virus-corona/0/siaran_pers
[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200401162844-20-489246/yasonna-soal-tka-china-dijelaskan-luhut-terkait-investasi